Jakarta (24/7/2022): Yogyakarta kini memiliki dua bandara yang menjadi pintu masuk daerah itu melalui transportasi udara, yakni Bandara Internasional Yogyarkarta atau YIA di Kabupaten Kulonprogo, dan Bandara Adisucipto di Jalan Raya Solo, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dari dua bandara tersebut, Bandara Adisucipto cukup menarik perhatian karena nama yang disematkan pada bandara itu, yakni Adisucipto. Lantas, siapakah sosok Adisucipto hingga namanya disematkan di salah satu bandara di Indonesia? Berikut ulasannya.
Profil Adisucipto
Mas Agustinus Adisucipto atau yang akrab disapa Tjip adalah seorang Marsekal Muda Anumerta. Ia lahir pada 3 Juli 1916 di Salatiga, Jawa Tengah, dan ia merupakan putra sulung dari Reowidodarmo.
Adisucipto muda memiliki kegemaran membaca buku filsafat kemiliteran, filosofi dan buku-buku olahraga.
Setelah lulus dari sekolah menengah pertama atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), ia berniat untuk ikut tes sekolah penerbangan di Kalijati. Namun, sang ayah menentang keinginannya tersebut, sehingga Adisucipto pun akhirnya masuk Algeemene Middelbare School (AMS) di Semarang.
Tahun 1936, ia lulus. Kemudian, Adisucipto kembali memohon kepada ayahnya agar diizinkan mengikuti pendidikan sekolah militer Breda (negeri Belanda), tetapi ayahnya justru menyarankannya untuk masuk sekolah kedokteran.
Karena merasa tak ada lagi harapan, akhinya Adisucipto pun mengikuti saran sang ayah dan kuliah di Genneskundige Hooge School atau Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta.
Selama berkuliah, Adisucipto merupakan mahasiswa yang rajin, Namun pikirannya, tetap berada di “udara”. Oleh karena itu, ia secara diam-diam mengikuti tes penerimaan Millitaire Luchtvaart Opleidings School atau Sekolah Pendidikan Penerbangan Militer di Kalijati. Ia pun lulus dengan hasil memuaskan, dan ayahnya pun akhirnya mengizinkan Adisucipto untuk menempuh sekolah penerbangan.
Setelah lulus dari tingkat pertama, Adisucipto diterima sebagai kadet penerbang.
Sejak menjadi penerbang, karier Adisucipto semakin melejit dan ia pun diangkat menjadi Ajudan Kapitein (Kolonel) Clason, pejabat Angkatan Udara KNIL di Jawa. Adisucipto menduduki jabatan tersebut sampai Jepang datang ke Indonesia tahun 1942.
Namun pada masa pendudukan Jepang, semua bekas penerbang KNIL dibebastugaskan dan Adisucipto pun kembali ke rumah orang tuanya di Salatiga. Di sana, ia bekerja sebagai jurutulis di Perusahaan Angkutan Bus (Jidosya Jimukyoku). Di tanah kelahirannya pula, ia mempersunting seorang gadis bernama Rahayu.
Berjuang Melawan Penjajahan
Saat revolusi meletus, Adisucipto pindah ke Yogykarta. Di kota itu, didirikanlah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bagian penerbangan pada 5 Oktober 1945, yang dipimpin oleh Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma, seorang perwira lulusan Akademi Militer di Breda. Lalu, ia memanggil Adisucipto untuk menyusun kekuatan di udara.
Tak hanya Adisucipto seorang, Soerjadarma pun turut memanggil semua penerbang bekas KNIL yang ada di Jawa untuk menambah kekuatan TKR.
27 Oktober 1945, Adisucipto menerbangkan pesawat Cureng berbendera merah putih di sekitar Yogyakarta. Ia menerbangkan pesawat tersebut untuk membakar semangat rakyat Indonesia dalam malawah penjajahan. Dan inilah penerbangan berbendera merah putih pertama di tanah air. Hal ini juga menjadi bukti semangat dan cinta Adisucipto yang besar untuk Indonesia.
Pada Desember, Kepala Staf Umum Tentara Nasional Indonesia (TNI atau TKR) Oerip Sumohardjo memerintahkan agar para komandan segera mengklasifikasikan seluruh material dan penerbang serta melapor ke Markas Besar Umum (MBU).
Dari pengumuman tersebut, Adisucipto kemudian diangkat menjadi Komodor Muda Udara dan ia diberi tugas untuk mengambil alih seluruh material, personel dan instalasi.
Dirikan Sekolah Penerbangan
Telah kenyang dengan pendidikan penerbangan, Adisucipto bersama Soerjadi Soerjadarma berinisiatif mendirikan sekolah penerbang di Yogyakarta pada 15 November 1945. Sekolah penerbang ini tepatnya berada di Lapangan Udara (Lanud) Maguwo, yang kini diganti namanya menjadi Bandara Adisucipto.
Dalam situasi yang masih kekurangan dan memprihatinkan, mereka membagi tugas. Di sini, Adisucipto diberikan tugas sebagai instruktur penerbang, sedangkan Soerjadi Soerjadarma mengurus administrasi.
Lulusan angkatan sekolah penerbang ini berjumlah 31 siswa yang berhasil mereka didik dengan bermodalkan pesawat tua yang mereka miliki.
Selain itu, di Lapangan Maguwo, Adisucipto juga diberi tanggung jawab dari panglima divisi setempat, yang secara resmi dimulai pada 15 Desember 1945. Di samping tugas tersebut, ia juga ditugaskan untuk memimpin kesatuan operasi dengan basis Maguwo.
Oleh karena itu, Adisucipto disebut sebagai perintis utama dalam sejarah pendidikan penerbangan di Indonesia. (*)