
Tangerang, Nusantara Info: Seorang nenek berusia 68 tahun, Li Sam Ronyu, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus sengketa tanah seluas 32 hektare yang berlokasi di Kampung Nangka, Desa Teluk Naga, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.
Sengketa ini melibatkan pihak yang mengaku sebagai ahli waris dari pemilik tanah sebelumnya, Sucipto.
Melalui tim kuasa hukumnya, Charles Situmorang, Li Sam Ronyu menyampaikan surat permintaan penundaan pemeriksaan kepada penyidik Polres Metro Tangerang Kota.
Surat tersebut diserahkan langsung ke kantor Polres Metro Tangerang Kota pada Rabu (11/6/2025).
“Klien kami, Li Sam Ronyu, telah menerima surat pemanggilan kedua dan kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Karena itu, kami mengajukan penundaan pemeriksaan atas dasar kondisi dan hak-hak hukum klien,” kata Charles kepada wartawan.
Kronologi Sengketa
Menurut Charles, peristiwa ini bermula sejak tahun 1994 ketika Li Sam Ronyu membeli tanah seluas 32 hektare dari seseorang bernama Sucipto. Sejak saat itu, Li Sam Ronyu menguasai lahan tersebut dan secara rutin membayar pajak tanah hingga tahun 2024.
“Pada 2007, klien kami bahkan menerima ganti rugi sebesar lebih dari tiga juta rupiah dari Pemerintah Kabupaten Tangerang, akibat sebagian lahannya seluas 13 meter terkena proyek jalan lingkar luar,” ungkap Charles.
Pada tahun 2021, Li Sam Ronyu berniat meningkatkan status kepemilikan tanah dari Akta Jual Beli (AJB) menjadi sertifikat hak milik. Proses tersebut, menurut Charles, telah dijalankan sesuai ketentuan hukum.
Namun pada akhir 2024, kliennya justru dilaporkan ke polisi, dan pada November 2024, statusnya dinaikkan menjadi tersangka.
Tudingan Pemalsuan
Li Sam Ronyu dituduh melakukan pemalsuan dokumen dan memberikan keterangan palsu oleh pihak yang mengaku sebagai ahli waris dari Sucipto, meskipun transaksi jual beli antara keduanya dilakukan lebih dari 30 tahun lalu.
Charles menduga ada keterlibatan pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil alih lahan tersebut secara tidak sah.
“Kami curiga ada keterlibatan mafia tanah dalam kasus ini. Klien kami menjadi korban dari praktik kotor ini,” tegasnya.
Upaya Perlindungan Hukum Ditempuh
Dalam menghadapi penetapan status tersangka atas kliennya, tim pembela hukum Li Sam Ronyu telah menempuh berbagai langkah perlindungan hukum.
Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah permohonan perlindungan hukum kepada Kepala Divisi Propam Polri serta menghadiri gelar perkara di Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Mabes Polri.
Menurut Charles, kuasa hukum Li Sam Ronyu, dalam gelar perkara tersebut telah ditegaskan bahwa tidak ditemukan unsur pidana, kekurangan alat bukti, maupun peristiwa pidana yang dapat menjerat kliennya.
“Dalam sidang gelar perkara tersebut, pihak Irwasum Polri menyatakan bahwa unsur pidana tidak terpenuhi, dan belum cukup bukti untuk menetapkan klien kami sebagai tersangka. Bahkan telah diarahkan untuk dilakukan pemeriksaan terhadap enam AJB induk dan saksi-saksi tambahan,” terangnya.
Namun demikian, menurut Charles, meskipun belum terpenuhi unsur pidana dan belum cukup bukti, penyidik Polres Metro Tangerang Kota tetap menetapkan Li Sam Ronyu sebagai tersangka.
Pihaknya menduga terdapat campur tangan pihak ketiga, termasuk kemungkinan keterlibatan mafia tanah, dalam pelaporan ini.
Langkah Hukum Lanjutan
Charles mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyampaikan tanggapan (counter) kepada Irwasum Polri atas tidak ditanggapinya rekomendasi hasil gelar perkara oleh institusi penyidik di lapangan.
“Kami enilai proses penyidikan sejak awal tidak adil dan tidak objektif. Oleh karena itu, kami akan menempuh upaya praperadilan terhadap penetapan tersangka ini ke Pengadilan Negeri Tangerang,” ujar Charles.
Upaya praperadilan ini bertujuan untuk menguji kembali keabsahan penetapan tersangka terhadap Li Sam Ronyu, sekaligus membuka peluang agar penyidikan dapat dilakukan secara adil, transparan, dan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Berikut adalah versi pernyataan tersebut yang telah dirapikan dan disusun agar lebih jelas, lugas, dan sesuai kaidah jurnalistik atau rilis hukum:
Harap Dukungan Kapolri hingga Satgas Mafia Tanah
Charles, kuasa hukum Li Sam Ronyu, menyampaikan harapannya agar pimpinan institusi negara turut mengawasi dan mengambil tindakan dalam perkara ini, termasuk Kapolri, Kejaksaan Agung, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Satgas Anti Mafia Tanah.
“Kami sangat berharap Kapolri, Kejagung, BPN, dan Satgas Mafia Tanah turun tangan. Sebab, dalam kasus ini, yang justru ditersangkakan adalah pemilik sah yang telah menguasai dan membayar pajak tanah sejak 1994,” tegas Charles.
Menurut Charles, pihaknya mencium adanya indikasi kuat bahwa sengketa ini berkaitan dengan proyek besar yang akan berlangsung di kawasan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang.
“Ada kemungkinan besar tanah milik klien kami menjadi sasaran penyerobotan dengan cara-cara yang tidak sah. Penetapan status tersangka terhadap klien kami justru membuka indikasi pelanggaran hak asasi manusia,” tambahnya.
Charles menegaskan, tindakan menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa cukup bukti dan tanpa memperhatikan riwayat kepemilikan serta pajak yang dibayar selama 30 tahun terakhir adalah bentuk ketidakadilan hukum yang serius.
Kuasa Hukum Anggap Tuduhan Terlalu Dipaksakan
Selain ditetapkan sebagai tersangka, Li Sam Ronyu juga dikenakan pasal berlapis oleh penyidik Polres Metro Tangerang Kota, yaitu Pasal 263, 264, dan 266 KUHP tentang pemalsuan surat dan keterangan palsu.
Charles, kuasa hukum Li Sam Ronyu, menilai tuduhan ini sangat dipaksakan. Menurutnya, kliennya telah memiliki dasar hukum yang kuat atas tanah seluas 32 hektare yang dibelinya dari Sucipto pada tahun 1994, dan telah dikuasai serta dibayar pajaknya selama lebih dari tiga dekade..
“Kami sangat menyayangkan klien kami justru dikenakan pasal-pasal pemalsuan, padahal dokumen yang digunakan adalah AJB yang sah, disusun oleh PPAT resmi, dan digunakan secara terbuka untuk membayar pajak serta proses legalisasi sertifikat,” kata Charles
Ia menegaskan, penetapan pasal 263 (pemalsuan surat), pasal 264 (pemalsuan dokumen otentik), dan pasal 266 (keterangan palsu dalam akta otentik) justru menunjukkan adanya indikasi kriminalisasi terhadap pemilik sah.
“Ini bentuk pelecehan hukum. Padahal, dalam gelar perkara di Mabes Polri telah disampaikan bahwa tidak ada unsur,” pungkasnya. (*)