Jakarta, Nusantara Info: Jauh di utara Papua, tersembunyi sebuah gugusan pulau kecil nan memikat. Ia tak sepopuler Raja Ampat atau Biak, namun Kepualauan Mapia, yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Supiori, menyimpan sejuta pesona yang belum banyak diketahui dunia. Inilah salah satu titik paling timur Indonesia yang tak hanya cantik secara visual, tapi juga kaya sejarah dan makna strategis.
Kepulauan yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Kampung Mapia, terdiri dari tiga pulau utama, yakni Pulau Brassi, Pulau Fanildo, dan Pulau Pegun.
Pulau Mapia terletak di Samudera Pasifik, sekitar 290 kilometer di utara Pulau Biak. Meski secara administratif masuk wilayah Kabupaten Supiori, akses menuju Pulau Mapia masih terbatas dan menantang. Namun, siapa pun yang berhasil menjejakkan kaki di sana akan disuguhkan pemandangan laut biru jernih, pasir putih bersih, dan terumbu karang yang masih sangat alami.
Begitu menjejakkan kaki di Pulau Mapia, kesan pertama yang muncul adalah ketenangan mutlak. Laut biru bening memeluk tepian pasir putih yang nyaris tak pernah diinjak. Terumbu karang warna-warni terlihat jelas dari permukaan air, rumah bagi ikan-ikan karang, penyu, dan berbagai biota laut langka lainnya. Suara alam di sini begitu murni tanpa deru kendaraan, tanpa polusi cahaya.
Pulau ini sangat cocok untuk kegiatan seperti menyelam (diving), snorkeling, dan penelitian biota laut. Keanekaragaman hayati di perairan Mapia menjadikannya salah satu spot konservasi terumbu karang terbaik di Indonesia bagian timur.
Untuk para penyelam dan pecinta snorkeling, Pulau Mapia ibarat surga rahasia. Spot-spot diving di sekitar pulau menawarkan pemandangan bawah laut yang luar biasa: dinding karang menjulang, ikan pelagis besar, hingga kemungkinan melihat hiu karang berenang bebas.
Sejarah di Balik Keheningan
Pulau Mapia bukan hanya kaya alam, tapi juga menyimpan sejarah global. Pada masa Perang Dunia II, pulau ini menjadi pos strategis pasukan Sekutu. Beberapa jejak sejarah seperti bangunan tua dan peninggalan militer masih bisa ditemukan, menyatu diam-diam dengan rimbun pepohonan tropis.
Tak banyak yang tahu bahwa pulau kecil ini dahulu menjadi saksi bisu ketegangan global. Kini, sisa-sisa sejarah itu menjadi narasi tambahan yang membuat Mapia tak hanya menarik secara visual, tapi juga intelektual.
Bahkan, beberapa peninggalan seperti bangkai kapal dan struktur bangunan tua masih bisa ditemukan, menjadi daya tarik tersendiri bagi pecinta sejarah.
Pulau Mapia berada sangat dekat dengan garis perbatasan Indonesia dan negara-negara Pasifik lainnya. Oleh karena itu, kehadirannya sangat strategis. Meski minim penduduk, pulau ini kerap dikunjungi oleh aparat TNI AL untuk melakukan pengawasan dan patroli maritim demi menjaga kedaulatan NKRI di perbatasan dan untuk memastikan keamanan wilayah ini dari potensi pelanggaran batas laut oleh kapal asing.
Potensi Wisata dan Konservasi
Akses menuju Pulau Mapia memang tak mudah. Dari Kota Biak, perjalanan laut menuju pulau ini bisa memakan waktu berjam-jam, tergantung cuaca. Namun tantangan ini pula yang membuat Mapia masih sangat alami.
Meskipun aksesnya masih terbatas, Pulau Mapia menyimpan potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi ekowisata dan wisata bahari kelas dunia. Pemerintah Kabupaten Supiori bersama pemerintah pusat, yakni Kementerian Perhubungan tengah menjajaki langkah-langkah untuk membuka akses yang lebih mudah ke pulau ini tanpa merusak ekosistemnya.
Diharapkan ke depan, Pulau Mapia dapat menjadi ikon baru pariwisata dan destinasi unggulan Papua yang setara dengan kepulauan eksotis lain di Indonesia. Tapi tentu saja, tanpa mengorbankan keasriannya.
Mengunjungi Pulau Mapia bukan hanya soal melancong ke tempat indah. Di tempat sejauh dan sesunyi ini, ada ruang untuk refleksi, untuk menyadari betapa luas dan kaya negeri ini. Dan betapa pentingnya menjaga setiap jengkal tanah air, meski ia berada jauh di ujung samudera.
Karena Pulau Mapia bukan sekadar titik di peta. Ia adalah penjaga batas negeri, penyimpan sejarah, dan permata yang menunggu ditemukan.