Harapan Reuni Keluarga Korea Kian Pudar, Korea Utara Pilih Dekat dengan Rusia dan Cina!

Bagikan

Harapan Reuni Keluarga Korea Kian Pudar, Korea Utara Pilih Dekat dengan Rusia dan Cina!
Reuni keluarga Korea. (Foto: Istimewa)

Seoul, Nusantara Info: Harapan untuk mempertemukan kembali ribuan keluarga yang terpisah sejak Perang Korea 1950-an kini semakin memudar. Di tengah hubungan yang makin renggang antara Seoul dan Pyongyang, Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung menyerukan agar Korea Utara membuka pintu dialog dan mengizinkan pertemuan keluarga, setidaknya untuk sementara waktu.

Dalam pidato peringatan Hari Memorial Keluarga Terpisah pada Sabtu (11/10/2025), Lee menekankan pentingnya isu kemanusiaan ini sebagai prioritas yang tak boleh dilupakan.

“Sayangnya, hubungan antar-Korea saat ini diliputi ketidakpercayaan yang dalam. Namun, isu keluarga terpisah tetap menjadi prioritas utama yang harus diselesaikan bersama,” ujar Presiden Lee.

Lee juga berjanji bahwa pemerintahannya akan berupaya maksimal menanamkan perdamaian di Semenanjung Korea dan memastikan “kesedihan keluarga terpisah tidak diwariskan ke generasi berikutnya.”

Pyongyang Kian Jauh, Seoul Kian Tak Berdaya

Seruan Lee disampaikan menjelang perayaan Chuseok, festival panen yang menjadi momen keluarga Korea berkumpul dan menghormati leluhur. Namun, hingga kini Korea Utara belum memberikan tanggapan atas ajakan tersebut.

Pertemuan keluarga lintas perbatasan terakhir terjadi pada 2018, mempertemukan 83 warga Korea Utara dan 89 warga Korea Selatan setelah puluhan tahun berpisah. Sejak itu, dialog terhenti di tengah ketegangan politik yang meningkat.

Kini, situasi semakin rumit. Korea Utara mempererat hubungan strategis dengan Cina dan Rusia, sembari menjauh dari Korea Selatan. Bahkan, Pyongyang dilaporkan telah mengirim pasukan untuk membantu Rusia dalam perang di Ukraina, tanda bahwa aliansi militer dan politiknya kian bergeser ke blok timur.

“Korea Utara kini memegang semua kartu,” kata Kim Sang-woo, pengurus Kim Dae-jung Peace Foundation.

“Dengan dukungan Cina dan Rusia, mereka merasa tak perlu menuruti keinginan Seoul,” tambahnya.

Awal tahun ini, Korea Utara bahkan merobohkan lokasi tradisional tempat reuni keluarga biasa digelar, mempertegas sikap keras terhadap isu kemanusiaan ini.

Tragedi Kemanusiaan di Balik Politik

Profesor Dan Pinkston dari Troy University di Seoul menilai, persoalan keluarga terpisah telah menjadi tragedi manusia yang nyaris tak tersentuh diplomasi. Ribuan orang di Korea Selatan masih mencari kabar keluarga mereka yang hilang sejak perang 1950-an, bahkan banyak yang tak tahu apakah kerabat mereka masih hidup.

Baca Juga :  Macron Umumkan Prancis Siap Akui Negara Palestina di Sidang PBB September 2025

“Ini situasi yang benar-benar tragis,” ujar Pinkston.

“Saya kenal seorang pegawai Kementerian Unifikasi yang setiap kali ada daftar reuni selalu mencari nama bibinya, seorang perawat yang dibawa ke Utara saat perang. Tapi nama itu tak pernah muncul,” sambungnya.

Menurutnya, kecil kemungkinan Kim Jong Un akan mengindahkan seruan Presiden Lee. “Kenapa Kim harus memberi keuntungan politik bagi Selatan? Seoul kini tak lagi punya daya tawar ekonomi atau bantuan yang berarti,” terangnya.

Propaganda dan Ketakutan Pyongyang

Bagi Pyongyang, isu reuni bukan sekadar kemanusiaan, tapi juga soal kendali politik dan propaganda.

“Reuni bisa menimbulkan sentimen nasionalis dan keinginan untuk reunifikasi, yang justru bertentangan dengan narasi resmi Korea Utara bahwa Utara dan Selatan adalah dua negara musuh,” jelas Pinkston.

Kim Sang-woo menambahkan, jika warga Korea Utara bertemu langsung dengan keluarga mereka dari Selatan, propaganda rezim bisa runtuh.

“Selama ini mereka menanamkan keyakinan bahwa Korea Selatan korup, dikuasai Amerika Serikat, dan di ambang kehancuran. Jika rakyat melihat kenyataan berbeda, itu bisa mengguncang seluruh sistem,” ujarnya.

Harapan yang Terus Memudar

Bagi keluarga-keluarga yang telah menunggu puluhan tahun, waktu menjadi musuh terbesar. Banyak dari mereka kini berusia di atas 80 tahun. Setiap tahun yang berlalu berarti semakin sedikit kesempatan untuk melihat wajah orang yang dicintai.

Namun, dengan kondisi geopolitik yang kian menegangkan dan Korea Utara yang semakin menutup diri, harapan reuni tampak semakin tipis.

“Ini bukan hanya masalah politik, tapi juga kemanusiaan,” tandas Pinkston.

“Sayangnya, politik selalu menang atas rasa kemanusiaan di Semenanjung Korea,” tutupnya. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait