
Kyiv, Nusantara Info: Tiga tahun setelah invasi besar-besaran Rusia pada Februari 2022, Ukraina masih mempertahankan perannya sebagai salah satu penopang ketahanan pangan dunia. Namun, dampak perang membuat produksi dan ekspor gandum negara itu anjlok signifikan, turun hampir seperempat dari masa sebelum konflik.
Dikenal sebagai “lumbung pangan dunia”, Ukraina memiliki lahan pertanian mencapai 41,3 juta hektare, dua pertiganya berupa tanah hitam yang sangat subur.
Dengan efisiensi tinggi dan kebutuhan input rendah, Ukraina selama puluhan tahun menjadi pemasok utama bahan pangan global, terutama untuk Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia.
Dari Kelimpahan Menuju Ketahanan
Sebelum invasi, sektor pertanian Ukraina menyumbang hingga 41% dari pendapatan ekspor nasional, senilai sekitar USD 27,8 miliar (Rp440 triliun) pada 2021. Namun, perang mengubah segalanya. Pasukan Rusia merebut sebagian lahan produktif, sementara blokade laut, ranjau, dan serangan rudal menghentikan sebagian besar ekspor melalui Laut Hitam.
Akibatnya, ekspor pangan Ukraina sempat anjlok lebih dari 90% dalam tiga bulan pertama invasi, memicu lonjakan harga pangan global. Negara-negara yang bergantung pada impor, terutama di Afrika dan Timur Tengah, menghadapi krisis pangan akut.
Dikutip dari DW, Analis Senior Dragon Capital, Natalia Shpygotska mengungkapkan bahwa sebelum invasi Ukraina menyumbang 8% ekspor gandum dunia, 13% jagung, dan 12% jelai. Selain itu, Ukraina juga memasok hingga 50% minyak bunga matahari global.
“Penurunan pasokan dan terganggunya jalur pelayaran di Laut Hitam sempat mendorong harga pangan dunia melonjak hingga USD 400 per ton,” ujarnya.
Produksi gandum Ukraina turun 29% pada musim 2022/23, sementara 22% lahan pertanian tidak ditanami akibat pendudukan dan ranjau. Meski begitu, data USDA mencatat bahwa ekspor mulai pulih pada tahun berikutnya.
Pangan Jadi Medan Perang
Ukraina menuduh Rusia menggunakan pangan sebagai senjata perang dengan menargetkan infrastruktur pertanian. Dalam dua tahun pertama konflik, lebih dari 300 fasilitas pertanian rusak dan 500 ribu ton gandum dilaporkan dicuri.
Titik balik terjadi pada 2022 ketika Ukraina, dengan bantuan drone laut dan rudal anti-kapal dari Barat, berhasil menekan armada Laut Hitam Rusia. Tenggelamnya kapal Moskva menjadi pukulan besar bagi Kremlin, diikuti penurunan harga pangan global.
Inisiatif PBB dan Turki melalui “Black Sea Grain Initiative” membuka kembali tiga pelabuhan utama Ukraina, memungkinkan ekspor 33 juta ton gandum hingga Juli 2023. Sementara itu, Uni Eropa meluncurkan “Solidarity Lanes”, jalur alternatif melalui rel, darat, dan sungai ke Eropa Timur, yang membantu hampir separuh ekspor gandum Ukraina mencapai pasar internasional.
“Solidarity Lanes menjadi penyelamat penting sebelum jalur pelabuhan benar-benar pulih,” ucap Shpygotska.
“Namun, biaya tinggi dan kapasitas terbatas membuatnya belum mampu menggantikan ekspor lewat laut sepenuhnya,” sambungnya.
Arus Dagang Pulih, Tapi Stabilitas Masih Rapuh
Hingga kini, ekspor biji-bijian dan minyak nabati Ukraina mencapai lebih dari 60 juta ton untuk musim 2024/2025. Namun, pada September lalu, ekspor pertanian turun 38% dibanding tahun sebelumnya karena meningkatnya serangan Rusia terhadap pelabuhan Odesa.
Proyeksi musim 2025/2026 juga belum menggembirakan. Produksi biji-bijian diperkirakan turun 10% menjadi sekitar 51 juta ton, menandakan masih rentannya sektor pangan Ukraina terhadap konflik berkepanjangan.
Meski dilanda perang, Ukraina tetap menjadi tulang punggung pasokan pangan global. Data Program Pangan Dunia (WFP) mencatat bahwa 80% gandum yang digunakan untuk bantuan pangan pada 2023 berasal dari Ukraina, membantu memberi makan lebih dari 400 juta orang di negara-negara seperti Yaman dan Etiopia.
Namun, di dalam negeri sendiri, sekitar 7,3 juta warga Ukraina masih mengalami kerawanan pangan, menurut PBB. Biaya rekonstruksi infrastruktur pertanian diperkirakan mencapai USD 55,5 miliar, sementara investasi asing masih minim karena risiko keamanan.
Ketegangan juga muncul antara Ukraina dan beberapa anggota Uni Eropa seperti Polandia dan Hungaria, yang menolak impor hasil pertanian Ukraina karena dianggap merugikan petani lokal.
Petani yang Bertaruh Nyawa
Perang membuat profesi petani di Ukraina menjadi salah satu yang paling berbahaya. The Wall Street Journal melaporkan sedikitnya 12 petani tewas dan 40 luka-luka akibat ranjau dan serangan drone di wilayah Kherson.
Salah satunya adalah Oleksandr Hordienko, petani yang dikenal menembak jatuh lebih dari 80 drone Rusia sebelum akhirnya tewas dalam serangan udara bulan lalu.
“Petani Ukraina kini harus menghadapi ranjau, rudal, dan kekeringan namun mereka tetap menanam demi memberi makan dunia,” tutur Shpygotska.
Selain perang, perubahan iklim menambah tekanan baru. Suhu yang terus meningkat dan kekeringan berulang mengancam produktivitas pertanian di wilayah selatan Ukraina. Banyak lahan subur di timur dan selatan juga masih dikuasai Rusia.
“Perdamaian berkelanjutan dan pembersihan ranjau sangat penting agar lahan pertanian dapat digunakan kembali,” kata Shpygotska menegaskan.
Meski menghadapi gempuran dari segala sisi, Ukraina tetap memegang peran vital dalam rantai pasokan pangan global.
Julukan “lumbung pangan dunia” masih relevan dan mungkin kini lebih bermakna dari sebelumnya: simbol ketahanan, harapan, dan keteguhan memberi makan dunia bahkan di tengah perang. (*)