Konsumsi Rokok Turun, Tapi Industri Tembakau Masih Jadi Raksasa di Asia Tenggara

Bagikan

Konsumsi Rokok Turun, Tapi Industri Tembakau Masih Jadi Raksasa di Asia Tenggara
Ilustrasi industri tembakau. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Nusantara Info: Kabar baik datang dari laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO): konsumsi tembakau di Asia Tenggara menurun drastis dalam dua dekade terakhir. Namun, di balik penurunan tersebut, industri rokok masih memainkan peran besar dalam perekonomian kawasan tesebut, termasuk melalui peningkatan konsumsi rokok elektronik.

Menurut laporan WHO, rata-rata konsumsi rokok perorangan di Asia Tenggara turun signifikan antara tahun 2000 hingga 2020. Persentase perokok turun dari 54% menjadi 23%.

“Penurunan ini menunjukkan komitmen politik yang kuat, kebijakan komprehensif, dan keterlibatan masyarakat luas,” ujar Catharina Boehme, pejabat WHO Asia Tenggara, dalam pernyataan resminya pada Oktober 2025.

Yvette Van Der Eijk, asisten profesor di Saw Swee Hock School of Public Health, Universitas Nasional Singapura, menilai langkah-langkah seperti peningkatan cukai, larangan iklan, dan pembatasan merokok di tempat umum berperan penting.

“Kebijakan ini membuat produk tembakau lebih sulit diakses dan kurang diterima secara sosial,” ucapnya.

Meski demikian, para peneliti menyoroti adanya perbedaan definisi wilayah dalam data WHO yang menyulitkan perbandingan dengan laporan lain. WHO memasukkan India dalam Asia Tenggara, sementara menempatkan Indonesia di kawasan Pasifik Barat.

Sebuah studi The Lancet mencatat bahwa meski tingkat merokok menurun di sebagian besar negara Asia Tenggara antara 1990–2021, jumlah perokok aktif justru naik 63% akibat pertumbuhan populasi, dari 440 juta menjadi lebih dari 700 juta jiwa.

Kebijakan Ketat dan Dampak Ekonomi

Negara-negara seperti Singapura dan Thailand menjadi pelopor kebijakan anti tembakau di kawasan Asia Tenggara. Singapura melarang iklan rokok sejak 1970-an, sementara Thailand menjadi negara pertama di Asia yang menerapkan kemasan polos pada 2018.

“Peringatan kesehatan besar di bungkus rokok dan larangan iklan total sangat efektif menekan konsumsi,” kata Nuntavarn Vichit-Vadakan, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Thammasat, Thailand.

Kebijakan tersebut juga memiliki dimensi ekonomi. WHO memperkirakan kerugian akibat penyakit terkait tembakau mencapai 1–2% PDB Asia Tenggara setiap tahun, disebabkan oleh menurunnya produktivitas dan meningkatnya biaya kesehatan. Di Malaysia, misalnya, kerugian akibat rokok mencapai 1,7% PDB, sementara pendapatan dari pajak rokok kurang dari 0,9%.

Baca Juga :  Imigrasi Terbitkan Visa Diaspora untuk Dukung Ekonomi Indonesia

Indonesia, Pengecualian di Kawasan

Indonesia menjadi anomali di tengah tren positif tersebut. Sebanyak 72% pria dewasa di Indonesia masih merupakan perokok aktif yang merupakan tertinggi di dunia. Negara ini juga belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari WHO.

Menurut estimasi, pengeluaran nasional untuk tembakau mencapai USD 25 miliar (sekitar Rp414 triliun) per tahun atau sekitar 2,6% dari PDB.

Baru-baru ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengumumkan pembatalan rencana kenaikan cukai rokok tahun depan. Ia beralasan, kenaikan pajak tahunan sejak 2014 justru mendorong peredaran rokok ilegal.

Namun, keputusan tersebut menuai kritik karena diumumkan hanya beberapa jam setelah pertemuan dengan Asosiasi Produsen Rokok Indonesia.

Tantangan Baru: Rokok Elektronik

Sementara konsumsi rokok tradisional menurun, penggunaan rokok elektronik (vape) meningkat pesat di Asia Tenggara. Brunei, Kamboja, Laos, Singapura, dan Thailand telah melarang vaping, sementara Vietnam mulai menindak penjualan dan kepemilikan vape tahun ini.

WHO memperingatkan, sekitar 7,2% remaja berusia 13–15 tahun di dunia kini menggunakan vape. “Larangan ini bertujuan mencegah munculnya generasi baru pengguna nikotin,” kata Van Der Eijk.

Namun, beberapa negara seperti Malaysia masih menghadapi resistensi politik. Industri vaping di Malaysia diperkirakan bernilai USD 830 juta (sekitar Rp13,7 triliun) dan sebagian besar dimiliki oleh komunitas Muslim-Melayu. Analis menilai sensitivitas politik membuat pemerintah enggan memberlakukan larangan total.

Meski konsumsi tembakau konvensional menurun, tantangan baru terus muncul. Para ahli sepakat bahwa kebijakan kesehatan publik harus beradaptasi dengan cepat agar upaya menekan angka kecanduan nikotin tidak tergerus oleh tren baru industri. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait