
Jakarta, Nusantara Info: Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai harus segera memperbaiki kinerja pelayanannya. Peringatan keras itu disampaikan menyusul kritik publik terkait dugaan keterlibatan Bea Cukai dalam praktik barang ilegal.
Purbaya bahkan menyatakan akan “membekukan” lembaga tersebut jika tidak ada perbaikan signifikan dalam waktu dekat. Ia menyinggung wacana penggunaan sistem kepabeanan dan cukai Societe Generale de Surveillance (SGS), perusahaan inspeksi multinasional asal Swiss, sebagai langkah cadangan.
“Jadi, sempat ada wacana kalau kita tidak bisa memperbaiki kinerja Bea Cukai, maka akan dijalankan seperti tahun dulu, waktu Orde Baru, SGS yang menjalankan pengecekan di custom kita,” ujar Purbaya.
Meskipun SGS disebut sebagai opsi cadangan, pemerintah tak menutup kemungkinan untuk mengembalikan sistem tersebut jika perbaikan internal Bea Cukai tidak berjalan. Hal ini berdampak pada sekitar 16.000 pegawai yang bisa dirumahkan jika perbaikan menyeluruh tidak segera dilakukan. Lantas, apa itu SGS?
Mengenal SGS
Societe Generale de Surveillance (SGS) adalah perusahaan inspeksi, verifikasi, pengujian, dan sertifikasi yang berbasis di Jenewa, Swiss, dengan jaringan global luas.
Didirikan pada 1878 oleh Henri Soldstuck di Rouen, Prancis, SGS awalnya hanya menginspeksi biji-bijian. Kantor pusat dipindahkan ke Jenewa pada 1915, dan nama SGS resmi dipakai pada 1919.
Saat ini, SGS memiliki lebih dari 2.700 laboratorium dan fasilitas bisnis di seluruh dunia, termasuk Indonesia sejak 1985, dengan kantor pusat di Jakarta Selatan dan cabang di kota-kota seperti Medan, Balikpapan, Surabaya, dan Semarang.
SGS menyediakan layanan inspeksi, pengujian, sertifikasi, serta konsultasi industri, termasuk untuk lembaga pemerintahan. Laporan SGS sering menjadi tolok ukur standar kualitas dan keandalan produk secara internasional.
Sejarah SGS di Indonesia dan Masa Orde Baru
Di era Orde Baru, Ditjen Bea Cukai menghadapi masalah penyelewengan dan penyelundupan akibat praktik kongkalikong antara pejabat dan importir. Beberapa menteri keuangan saat itu, seperti Ali Wardhana dan Radius Prawiro, mencoba memperbaiki sistem, namun praktik ilegal tetap marak.
Sebagai langkah perbaikan, pemerintah pada 1985 menyerahkan sebagian wewenang Bea Cukai kepada SGS melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985, yang berlaku selama 10 tahun hingga pengembalian penuh ke Bea Cukai pada 1995 melalui UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Langkah ini menjadi contoh bagaimana pemerintah Indonesia pernah mengandalkan lembaga independen internasional untuk memastikan kepatuhan dan transparansi sistem kepabeanan.
Peringatan Menkeu dan Tantangan Bea Cukai Saat Ini
Peringatan Menkeu Purbaya menjadi alarm bagi Ditjen Bea Cukai untuk memperkuat integritas internal, memperbaiki prosedur pengawasan, dan meningkatkan layanan publik. Dengan ancaman SGS sebagai opsi cadangan, Bea Cukai diingatkan untuk berbenah dan memastikan operasi kepabeanan berjalan efisien, transparan, dan bebas dari praktik ilegal.
Jika tidak, pemerintah siap mengimplementasikan langkah drastis demi menjaga kredibilitas sistem kepabeanan dan cukai Indonesia, sekaligus menegakkan prinsip akuntabilitas dan kepercayaan publik.
Peringatan Menkeu Purbaya menekankan bahwa perbaikan internal Bea Cukai bukan sekadar tuntutan birokrasi, tetapi langkah penting untuk memastikan keamanan perdagangan, kepatuhan pajak, dan integritas ekonomi nasional. Ancaman keterlibatan SGS menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menghadirkan sistem kepabeanan yang transparan, profesional, dan terpercaya. (*)






