Singkawang ( 11/ 2 / 2021 ): Setelah menceritakan pengalaman Imlek di Sanggau, Kalimantan Barat, kali ini Johannes Kitono alias Jeka mengenang masa kecil di Singkawang.
Ketika Jeka kecil tinggal di asrama putera Santa Maria, Singkawang, yang dikelola oleh bruder- bruder asal Belanda. Setiap ada libur Cap Go Meh selalu diajak bruder Koenraad Brekelmans (alm ) ikut menyaksikan festival di kota Singkawang. Tugas Jeka hanya memegang dan mendorong sepeda ketika sang bruder sibuk beraksi dengan kameranya. Bruder asyik foto-foto para Tatung dan Kepala Naga yang sedang berlari mengejar mutiara mengikuti irama bunyi tabuhan genderangnya. Yah, mungkin semacam asisten lightingman untuk mempermudah tugas kameraman saat shooting film.
Cap Go Meh di Singkawang telah mendunia. Boleh dibilang inilah parade Tatung paling fenomenal di Asia, bahkan mendunia. Jeka menceritakan Tatung dalam tulisan berikut ini:
Kota Singkawang yang juga dikenal dengan “Kota 1000 Kelenteng” pada hari Cap Go Meh — hari ke 15 dalam Imlek – akan dipenuhi oleh turis domestik dan mancanegara. Kalau mau menginap di sana, sebaiknya melakukan pesanan hotel dan losmen minimal satu tahun di muka atau terpaksa nonton di Youtube saja. Sedih nian!
Satu satunya kota di Indonesia yang perayaan Cap Go Meh ada ratusan Tatung hanya ada di kota ini. Biasanya akan diramaikan oleh puluhan ekor Naga, Kirin, ratusan Barongsai yang akan menari-nari beraksi bersama ratusan para Tatung yang dandanannya seperti Dewa Dewi dari Khayangan.
Ya, parade pasukan tatung memang berpakaian sebagai dewa, jenderal, panglima perang China. Warna kostumnya ada yang hitam, kuning, merah atau hijau. Pelindung tubuh dan pedang yang mereka bawa berkilau-kilau oleh sepuhan emas dan perak. Kemudian mereka membawa bendera segitiga yang memuat nama-nama tatung. Ada yang memikul tandu sambil menyipratkan air penolak bala. Konon tatung yang berjalan kaki dan yang bertandu, menunjukkan status sosial mereka di kalangan masyarakat.
Secara teratur mereka akan pawai keliling kota khususnya di jalan-jalan protokol. Saat berpawai mereka berjalan kaki dan ada pula yang duduk santai di atas tandu, beralaskan jejeran pedang tajam atau ratusan paku. Di tengah-tengah pawai, mereka memamerkan atraksi maut. Misalnya menekan perut dan kaki dengan parang, atau memakan pecahan kaca dari lampu neon. Beberapa orang bahkan menggorok leher atau mengiris lidah dengan pisau atau mandau, senjata khas suku Dayak.
Anehnya tidak ada yang terluka dan tentu saja tidak perlu Betadine pula, cukup selalu dipercik dengan air suci yang disebut mat co sui, bahasa lokalnya.
Siapakah tatung ini? Kapankah tatung muncul? Menurut penuturan Hasan Karman eks Walikota Singkawang yang adik kelas saya di SMP Bruder Singkawang, bahwa tradisi tatung bermula pada tahun 1777 di Desa Monterado, daerah pertambangan emas, sekitar 30 km dari kota Singkawang. Ketika itu terjadi gelombang migrasi suku Tionghoa Hakka dari Yunan dan Hopo, China Selatan ke Kalimantan. Sebagian dipekerjakan di pertambangan emas di Monterado.
Penambang-penambang emas yang dapat konsesi dari Sultan Sambas dan memulai usahanya sekitar tahun 1740, tiba-tiba mendapat musibah. Ada wabah besar yang menyebabkan banyak kematian di kalangan pekerja tambang dan orang desa. Mungkin seperti serangan pandemi Corona yang terjadi di dunia saat ini. Banyak kematian terjadi setiap hari. Belum ada dokter apalagi vaksin Sinovac atawa Pfizer untuk mengatasi pandemi tersebut.
Para penambang mengandalkan tatung sebagai tabib. Ada yang dibawa dari tanah leluhur, ada pula yang kerasukan roh di perkampungan. Ceritanya terdapat pelarian lima panglima besar yang memberontak pada kaisar. Salah satunya Jenderal Ng Kang Sen yang kabur ke Monterado. Ia menemukan banyak penambang kesurupan, ia pun dengan ilmu gaibnya menyembuhkan mereka. Ng Kang Seng lalu meminta setiap tahun harus ada acara pembersihan roh, agar manusia tidak kesurupan. Ia menjadikan babi sebagai media untuk dimasuki roh jahat. Saat babi menjerit meronta-ronta menjemput ajal, roh-roh jahat pun merasukinya. Setelah itu babi dipotong lalu dagingnya dimakan bersama. Setelah itu, tak ada penambang yang kerasukan lagi. Dari sinilah tatung bermula.
Atas bimbingan orang pintar yang konon mendapat wangsit mimpi dari langit, berkumpullah para tauke tambang dan tokoh masyarakat desa yang kemudian menghasilkan keputusan bulat: harus ada pembersihan daerah tambang dan desa dengan arak arakan keliling desa untuk mengusir roh jahat yang menyebabkan wabah.
Kala itu arak-arakan juga berdandan seperti dewa dewi untuk show off atau unjuk kekuatan kepada roh jahat sumber wabah supaya segera pergi dari desa. Ada penitisan dewa Na Cha, Sun Go Kong yang terkenal dengan tongkat saktinya dan anehnya bisa ditaruh dalam kuping, juga Dewi Kwan Im yang dengan anggun duduk di atas daun teratai.
Anehnya seperti mendapat restu dari kekuatan dewa dewi, para tatung yang seperti orang kesurupan kebal dari senjata tajam, seperti duduk di ujung golok tajam, potong lidah, tusuk pipi dengan besi. Tidak ada yang terluka, suatu hal yang tidak bisa diterima oleh akal sehat.
Sejak saat itu hari arak-arakan kebetulan jatuh pada hari ke- 15 Sin Cia atau Cap Go Meh berkembang menjadi parade terkenal. Saat ini malah dari Singkawang mendunia. Ternyata pengobatan dengan kekuatan Super Natural ini berhasil sehingga tradisi Cap Go Meh berlangsung dan dilanjutkan sampai hari ini, walaupun sudah tidak ada musibah wabah.
Sayangnya, di tahun 2021 ini, saat ada virus Covid 19 sedang berkecamuk di dunia dan termasuk di kota Singkawang juga, oleh Wali Kota Tjhai Cui Mie, festival Cap Go Meh yang jatuh pada tanggal 26 Februari 2021 ditiadakan.
Bisa dimaklumi, mengingat akan ramainya manusia yang berkerumun menyaksikan festival dan pasti akan melanggar protokol kesehatan kalau terpaksa dilangsungkan. Dikhawatirkan akan merebak penularan virus corona itu. Jadi sudah benar di era pandemi tahun 2021 ini Wali Kota Singkawang telah memutuskan membatalkan festival Cap Go Meh. (**/jeka)