Jakarta (7/2/2021): Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan ia diberi tugas Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk membereskan persoalan toilet yang kerap tak terawat di sejumlah destinasi wisata. Sandiaga mengakui tugas itu merupakan tantangan.
“Waktu saya diminta bersihkan toilet oleh Pak Luhut, saya merasa terhormat karena bahwa ya percuma kita punya destinasi berkualitas, tapi toilet tidak berkualitas,” kata Sandiaga menanggapi tugas khusus itu.
Menteri Sandiaga beranggapan revolusi pariwisata bermula dari toilet. Dari anggapan inilah yang membuat kementeriannya menggandeng Asosiasi Toilet Indonesia untuk merevitalisasi toilet di setiap destinasi wisata di Indonesia. Revitalisasi toilet ini diharapkan dapat memberi kenyamanan pada wisatawan. Kelayakan dan kebersihan toilet di tiap destinasi wisata merupakan salah satu unsur penting.
Revitalisasi toilet ini mengingatkan revolusi toilet yang dilakukan Tiongkok pada tahun 2015. Kala itu Presiden Tiongkok Xi Jinping mengampanyekan ‘Revolusi Toilet’ secara khusus di tempat-tempat wisata. Sebelum revolusi, citra toilet di Tiongkok dikenal buruk. Bau, sering tak ada air apalagi tisu, dan pemakainya jarang membilas toilet setelah digunakan.
Revolusi pun dimulai. Dana sekitar Rp 40 triliun dikucurkan untuk merevitalisasi 60.000 an toilet di destinasi wisata. Data dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tiongkok mengungkapkan ada sekitar 22.300 toilet baru di kawasan wisata hingga akhir tahun 2019. Penambahan itu membuat destinasi wisata memiliki 90.000 an toilet hasil revitalisasi. Toilet sebanyak itu bukan sekadar bersih, tetapi juga diubahnya menjadi bentuk unik, menawarkan kenyamanan, serta menjadi daya tarik tersendiri buat turis.
Belajar dari Tiongkok
Soal revitalisasi toilet di negeri kita layak belajar dari Tiongkok. Ternyata revolusi toilet itu erat dengan soal etika. Bukan sekadar menyulap toilet jorok menjadi lebih modern, tetapi mengubah mental masyarakatnya dalam hal menggunakan toilet.
Di Tiongkok, soal toilet di tempat wisata bisa dibilang beres. Namun yang belum beres adalah toilet-toilet di pedesaan, padahal makin ke sini kian digandrungi desa wisata. Masih banyak toilet yang ala kadarnya dan tidak diperhatikan kebersihannya. Begitulah perilaku sebagian masyarakat pedesaan di sana karena beranggapan jamban merupakan tempat membuang kotoran, buat apa dibikin bagus-bagus. Buat apa pula bersih-bersih, toh saban pagi dikotori lagi.
Anggapan macam ini ada juga pada masyarakat kita. Toilet dibiarkan seadanya. Fungsi toilet sebagai wadah penampung limbah tubuh manusia memunculkan persepsi WC memang sebagai tempat yang kotor atau tidak bersih. Malah ada anggapan, “Emang ruang tamu dibikin bagus-bagus”.
Pengalaman lain dari Tiongkok adalah budaya bertoilet. Alih-alih mengubah toilet tradisional ke bentuk modern malah melahirkan gagap budaya. Toilet juga merupakan simbol status pemiliknya, seperti toilet duduk identik dengan kemewahan dan modernitas, toilet jongkok identik dengan kemiskinan dan kampungan (Triyatni Martosenjoyo, Jurnal Etnosia. Vol. 01, No. 01, Juni 2016).
Dalam revolusi toilet Tiongkok bermaksud mengubah yang “kampungan” menjadi lebih modern, malah salah fungsi. Orang Tiongkok lebih banyak yang suka toilet jongkok. Alasan mereka bahwa jika usus dalam posisi kosong, maka dapat merusak proses pencernaan. Oleh karena itu, mereka melakukannya dalam posisi jongkok untuk mengosongkan usus secara perlahan.
Orang Indonesia juga lebih familiar dengan toilet jongkok. Warisan nenek moyang kalau di jamban selalu berjongkok. Toilet duduk dianggap bawaan orang Barat. Apalagi jika hanya tersesia tisu. Maka tak mengherankan jika banyak kasus di toilet umum, di toilet duduk acap tertinggal tapak kaki. Rupanya walau pakai toilet duduk, pengguna masih tetap berjongkok.
Pertimbangan Pandemi
Agar revitalisasi toilet berjalan sebagaimana rancangan awal, ada baiknya masalah mental dan budaya bertoilet dijadikan pertimbangan. Apalagi di masa pandemi, kebanyakan orang mulai mengurangi sentuhan dengan benda-benda yang digunakan bersama-sama. Pertimbangan inilah yang menjadikan toilet jongkok menjadi pilihan manakala terpaksa harus BAB saat berwisata. Di toilet umum itulah berkumpullah kuman, bakteri, dan virus yang dapat menularkan penyakit berbahaya kepada penggunanya. Umumnya orang beranggapan, bahwa kebersihan dudukan toilet tidak terjamin. Mau didisinfektan atau diberi pelapis pengaman, tetap saja pengguna berpikir dua kali sebelum duduk di toilet. Bisa-bisa virus Corona ikut duduk di sudut-sudut toilet umum. Ketakutan yang wajar.
Inilah keunggulan ( berdasarkan persepsi banyak orang) toilet jongkok dibandingkan toilet duduk. Pertama, kebersihan, di mana penggunaan toilet jongkok dianggap lebih bersih dibanding dengan toilet duduk karena tubuh tidak bersentuhan secara langsung dengan toilet yang potensil sebagai sumber pencemar bakteri atau virus. Kedua, k esehatan, di mana penggunaan toilet jongkok dipersepsikan lebih sehat dibandingkan dengan toilet duduk karena posisi jongkok saat buang air besar sesuai dengan ergonomik tubuh manusia dan akan membuat pengguna terhindar dari penyakit-penyakit pada area wasir, usus besar dan prostat.
Persoalan lain adalah pengguna toilet yang bukan altruis. Mereka tidak memikirkan pengguna lain. Pokoknya, lega habis membuang hajat, tak peduli lagi harus meninggalkan toilet dalam keadaan bersih. Lebih celaka lagi bilamana beranggapan sudah ada petugas kebersihan toilet. Bahkan menggunakan jasa toilet pun musti bayar. Jadi, biarlah urusan kebersihan dikerjakan orang lain.
Dari berbagai pertimbangan tersebut, pada akhirnya revolusi toilet di negeri ini juga melekat pula revolusi mental. Mau toilet bersih, mental pun dipersiapkan agar tidak gagap budaya. (*/RanahKata)