
Jakarta, Nusantara Info: Ketegangan antara Cina dan Jepang kembali meningkat tajam setelah perselisihan terkait Taiwan memicu rangkaian respons keras dari Beijing. Situasi memanas setelah Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, pada 7 November 2025 menyatakan bahwa serangan militer Cina ke Taiwan dapat dianggap sebagai ancaman langsung bagi kelangsungan hidup Jepang, pernyataan yang membuka peluang penggunaan hak pembelaan kolektif sesuai hukum Jepang.
Pernyataan itu langsung ditolak Cina yang mengajukan protes resmi. Namun eskalasi makin membesar setelah Xue Jian, Konsul Jenderal Cina di Osaka, mempublikasikan komentar keras yang menyebut Takaichi “memilih jalan menuju kematian” dan bahwa pihaknya “hanya perlu memotong kepala kotor para politisi tersebut.”
Unggahan yang bisa dianggap ancaman terhadap perdana menteri Jepang itu kini telah dihapus.
Pemerintah Jepang mengecam keras pernyataan Xue, bahkan sejumlah politisi menyerukan agar diplomat tersebut diusir. Meski Tokyo kemudian mengirim pejabat Kementerian Luar Negeri ke Beijing untuk meredakan situasi, tensi kedua negara tetap tinggi.
Beijing: Jepang Akan Kalah Telak Jika Ikut Campur di Taiwan
Di tengah ketegangan, Cina mengeluarkan sejumlah langkah tegas. Beijing memperingatkan bahwa Jepang akan menghadapi “kekalahan telak” jika ikut campur dalam konflik Taiwan, sekaligus menyatakan keprihatinan mendalam atas kebijakan keamanan Tokyo yang dianggap semakin ofensif.
Cina juga menggelar latihan tembak langsung selama delapan hari di Laut Kuning. Kapal penjaga pantai Cina intensif berpatroli di sekitar Kepulauan Diaoyu atau Senkaku dalam sebutan Jepang—yang selama ini menjadi sengketa kedua negara.
Pada Rabu (19/11/2025), Cina memberi tahu Jepang bahwa impor makanan laut dari negeri Sakura akan ditangguhkan. Selain itu, Beijing mewanti-wanti warganya agar tidak bepergian atau menempuh pendidikan di Jepang. Tokyo pun mengeluarkan imbauan kepada warganya di Cina untuk meningkatkan kewaspadaan.
Analis Senior Asia Timur Laut International Crisis Group, William Yang, menilai langkah-langkah ini bukan hal baru dalam strategi tekanan Beijing.
“Saya tidak melihatnya sebagai respons berlebihan. Ini lebih seperti tekanan yang terukur dan sudah biasa digunakan,” ujarnya.
Respons keras pemerintah ikut memicu ledakan komentar di platform media sosial Cina, terutama Weibo. Banyak pengguna mendukung langkah tegas Beijing, sementara para ahli menilai hal ini sekaligus dimanfaatkan untuk membangkitkan sentimen patriotik di dalam negeri.
“Episode ini membantu meredam ketegangan domestik akibat perlambatan ekonomi Cina,” kata Lim Chuan Tiong dari Universitas Tokyo.
Sejauh Mana Eskalasi Akan Berlanjut?
Bagi Cina, Taiwan adalah isu paling sensitif. Namun para peneliti melihat bahwa ini adalah pertama kalinya persoalan Taiwan menjadi pusat ketegangan dalam hubungan Cina–Jepang.
Fukuda Madoka dari Universitas Hosei mengatakan bahwa tujuan utama Beijing adalah menekan pemerintahan Takaichi agar tidak terlalu aktif terlibat dalam isu Taiwan. Meski demikian, pola historis menunjukkan bahwa ketegangan kedua negara biasanya mereda setelah mencapai puncaknya.
“Tujuan Beijing adalah memberi pelajaran. Namun pada akhirnya, mereka tetap perlu kembali ke jalur dialog,” kata Lim.
Ke depan, analis memprediksi bahwa penyelesaian situasi ini tidak akan melibatkan Amerika Serikat atau pihak ketiga.
“Dalam jangka pendek, Jepang mungkin perlu mengambil langkah nyata untuk meredakan ketegangan,” ungkap Yang.
Namun Takaichi menghadapi dilema: konsesi yang terlalu besar dapat melemahkan posisinya di mata publik Jepang dan memengaruhi stabilitas politik domestik pada jangka panjang. (*)






