
Jakarta, Nusantara Info: Kashmir, wilayah pegunungan Himalaya yang dulu kerap dibingkai sebagai surga romantis oleh film-film Bollywood, kini memanggul narasi yang jauh lebih kompleks: perlawanan, konflik berkepanjangan, dan kenangan budaya yang tergerus.
Dari pegunungan bersalju hingga gema seruan azaadi (kebebasan), sinema Hindi telah membentuk pandangan dunia tentang Kashmir, baik sebagai destinasi impian maupun wilayah yang sarat luka sejarah.
Haider: Potret Eksistensial di Tengah Konflik
Film Haider (2014) karya Vishal Bhardwaj menjadi salah satu representasi kuat dari sisi kelam Kashmir. Adaptasi Hamletkarya Shakespeare ini mengambil latar konflik Kashmir pertengahan 1990-an, memotret kekerasan, penghilangan paksa, dan beban psikologis penduduknya.
Salah satu dialog sang tokoh utama, Haider, mempertanyakan eksistensi dan masa depan dirinya:
“Apakah kita berada di sini atau tidak? Jika ya, di mana, dan jika tidak, ke mana kita pergi? Jika kita berada di sini, untuk siapa dan sampai kapan?”
Dialog ini bukan hanya menggambarkan kegamangan personal, tapi juga mengkritisi bagaimana Bollywood memotret wilayah mayoritas Muslim ini.
Kashmir Sebagai ‘Surga’ dalam Film Klasik
Pada dekade-dekade awal pasca kemerdekaan India, Bollywood kerap menggambarkan Kashmir sebagai latar romantis nan indah, tanpa menyinggung realitas sosial politiknya.
Seperti film Barsaat (1949) dan Kashmir Ki Kali (1964), menonjolkan panorama kebun tulip, pohon chinar, dan lembah bersalju sehingga membentuk citra Kashmir sebagai “surga di Bumi”.
Menurut pembuat film Sanjay Kak, periode ini diliputi optimisme Perdana Menteri Jawaharlal Nehru tentang sekularisme dan persaudaraan nasional.
Namun, fokus pada lanskap ketimbang masyarakat membuat narasi Kashmir terasa terlepas dari kenyataan hidup penduduknya.
Pemberontakan 1990-an: Titik Balik Narasi
Akhir 1980-an dan awal 1990-an menjadi titik balik. Pemberontakan bersenjata muncul pasca-pemilu 1987 yang dituding sarat kecurangan, memicu gerakan militan anti-India di Kashmir.
Pemerintah India merespons dengan kebijakan kontra pemberontakan, termasuk penerapan Undang-Undang Kekuatan Khusus Pasukan Bersenjata (AFSPA) yang memberi impunitas militer.
Perubahan situasi politik ini tercermin di layar lebar. Film Roja (1992) mengangkat isu kebebasan, identitas, dan konflik militer, menandai pergeseran citra Kashmir dari surga romantis menjadi zona perang.
Namun, kritik muncul karena penggambaran militan yang kerap identik dengan identitas Muslim, berisiko memperkuat stereotip negatif.
Memasuki Era 2000-an: Trauma dan Kemanusiaan
Film-film awal 2000-an mulai mengeksplorasi lapisan sosial, politik, dan emosional yang lebih dalam. Kisah kehilangan keluarga, pengungsian, hingga pelanggaran hak asasi manusia menjadi bagian narasi.
Sinema mulai menyeimbangkan perspektif nasional India yang menekankan keamanan dengan realitas penderitaan penduduk Kashmir.
Agustus 2019 menjadi momen penting ketika pemerintah India mencabut Pasal 370 Konstitusi yang memberi otonomi khusus bagi Jammu dan Kashmir. Langkah ini mengubah arah narasi film.
The Kashmir Files (2022) memicu kontroversi karena menggambarkan eksodus Hindu Kashmir sebagai “genosida” dan narasi yang dinilai sepihak oleh sejumlah kritikus. Sementara Article 370 (2024) menonjolkan pencabutan otonomi sebagai langkah heroik pemerintah.
Sanjay Kak menyebut sinema Hindi kini “statis”, cenderung sejalan dengan pandangan resmi negara. Hal ini membuat sulit kembali ke citra Kashmir sebagai latar romantis murni tanpa beban politik.
Antara Imajinasi dan Realitas
Perjalanan citra Kashmir di Bollywood mencerminkan perubahan geopolitik dan psikologis India. Dari taman bunga hingga pos militer, dari lagu cinta hingga seruan azaadi, layar lebar menjadi arsip visual yang merekam pergeseran antara nostalgia dan kenyataan pahit.
Kini, setiap adegan tentang Kashmir tidak lagi sekadar menampilkan keindahan alam, tetapi juga membawa pertanyaan: siapa yang memiliki kisah ini, dan versi mana yang akan dikenang sejarah? (*)