Jakarta (23/1/2021): Karel Sadsuitubun, nama yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat luas. Karel Sadsuitubun, salah seorang Pahlawan Revolusi yang namanya diabadikan menjadi nama jalan di Indonesia, monumen hingga nama bandara, yaitu Bandara Karel Sadsuitubun di Langgur, Kabupaten Maluku Tenggara.
Ya, memang banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengenang jasa pahlawan. Namun terlepas dari itu, seperti apa sosok dan perjuangan Karel Sadsuitubun?
Karel Sadsuitubun, bukanlah Jenderal TNI. Ia hanya seorang pengawal Johannes Leimena yang saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri. Karel Sadsuitubun merupakan seorang Polisi berpangkat Agen Polisi Kelas Dua atau setara dengan Bhayangkara Dua Polisi. Namun keberaniannya jangan diragukan, ia rela pasang badan untuk menghalau datangnya pasukan Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Sejatinya, Karel bukanlah target dari G30S. Hanya saja saat Pasukan Tjakrabirawa ingin menculik Jenderal Besar Abdul Haris Nasution di Jalan Teuku Umar, sebagian dari mereka melumpuhkan pengawal yang menjaga rumah Johannes Leimena yang berdekatan dengan rumah Nasution. Saat itu, Karel mendapatkan giliran tidur dalam pos jaga, sedangkan kawannya yang lain di lokasi berbeda.
Dua orang pasukan Tjakrabirawa datang menghampiri pos jaga dan membangunkan Karel yang sedang tertidur. Karel mengira sedang diganggu oleh kawan-kawannya dan senjatanya pun masih melekat di tubuh Karel. Namun pasukan penculik tersebut terus menendang Karel, lalu ia pun terbangun dan sadar, bahwa bukan kawannya yang mengganggu tidurnya.
Lalu, Karel pun melompat dan berkelahi dengan pasukan penculik yang ada di hadapannya. Namun perlawanan tersebut tidak seimbang, karena satu melawan delapan orang dan Pasukan Tjakrabirawa pun menghantam Karel dengan timah panas, seketika tubuh Karel pun roboh bersimbah darah dan ia meninggal dini hari 1 Oktober 1965. Karel Sadsuitubun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan.
Setelah kejadian itu, pangkat Karel pun dinaikkan secara anumerta menjadi Ajun Inspektur Polisi Kelas Dua dan Pemerintah memberikannya gelar Pahlawan Revolusi.
Brigadir Polisi Yang Menyandang Pahlawan Revolusi
Karel Sadsuitubun lahir di Tual, 14 Oktober 1928. Ketika dewasa, ia memutuskan untuk menjadi anggota Polri dan akhirnya lulus saat mengikuti pendidikan polisi, kemudian ditugaskan di kesatuan Brimob Ambon.
Saat ia ditugaskan di Jakarta dan menjaga kediaman Leimena, pangkatnya pun berangsur-angsur naik dan diangkat menjadi Brigadir Polisi.
Pada Agustus tahun 1951, Karel masuk Sekolah Polisi Negara di Ambon dan 9 Februari 1952, ia menyandang pangkat Agen Polisi II. Kemudian pada 23 September 1952, Karel dipindahkan ke Jakarta dan dimutasi ke dalam Brimob. Karel bertugas di sekitar Cilincing, Jakarta Utara.
Pada tahun 1954, pangkatnya naik menjadi Agen Polisi I dan di tahun yang sama, Karel juga mengikuti latihan Brimob di Sekolah Polisi Negara Megamendung, Bogor, Jawa Barat.
Selang satu tahun kemudian, tepatnya tahun 1955, Karel bertugas di Sumatera Utara dan tahun 1956, ia sempat tiga bulan bertugas di Aceh. Lalu tahun 1958, Karel dikembalikan ke Jakarta dan ditempatkan di Ciputat.
Tahun 1959, Karel menikah dengan Margaritha Waginah dan dikarunia tiga orang anak, yaitu Philipus Sumarno, Petrus Indro Waluyo dan Linus Paulus Suprapto. Kemudian tahun 1960, tepatnya tanggal 2 September, ia ditugaskan di Sumatera Barat selama enam bulan untuk mengatasi pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Selain itu, Karel juga pernah ikut dalam operasi Trikora pembebasan Irian Barat.
Mencuatnya peristiwa G30S pada tahun 1965, membuat nama Karel Sadsuitubun menjadi kian harum. Karel menjadi polisi pertama yang mendapatkan gelar Pahlawan Revolusi dari Pemerintah Republik Indonesia. Karel Sadsuitubun yang hanya seorang Brigadir Polisi dan menyandang Pahlawan Revolusi banyak disebut dalam sejarah Indonesia. (*)