Jakarta (26/8/2024): Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengambil langkah penting dalam upaya penguatan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Indonesia, yang diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan memperkuat posisi MHA dalam kerangka hukum nasional melalui Rapat Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang digelar di Lantai 5 Gedung H Kemendagri, Jakarta, pada Rabu (21/8/2024).
Rapat ini dibuka secara langsung oleh Direktur Toponimi dan Batas Daerah, Ditjen Bina Adwil, Raziras Rahmadillah didampingi Kasubdit Toponimi, Data dan Kodefikasi Wilayah Administrasi Pemerintahan dan dihadiri oleh perwakilan dari berbagai biro dan direktorat terkait di lingkungan Kemendagri.
Subjek hukum terkait MHA berada di bawah kewenangan Kemendagri, sementara objeknya mencakup tanah ulayat, hutan adat, dan wilayah pesisir yang berada di bawah tanggung jawab kementerian terkait seperti ATR/BPN, KLHK, dan KKP. Kemendagri juga berencana untuk meluncurkan pilot project terkait MHA, yang mencakup pengelolaan laut dan hutan dengan subjek hukum tetap berada di bawah Kemendagri.
“Penting untuk memastikan bahwa pengakuan Masyarakat Hukum Adat tidak hanya sekadar wacana, tetapi diwujudkan dalam kebijakan yang konkret dan dapat diimplementasikan, kami berupaya mempercepat proses penetapan MHA oleh kepala daerah serta mengembangkan pilot project yang dapat menjadi model dalam pengelolaan tanah ulayat, hutan, dan wilayah pesisir,” ujar Raziras.
Dalam rapat ini, disepakati pentingnya segera menetapkan MHA melalui keputusan kepala daerah. Pihaknya juga menggarisbawahi bahwa tanah ulayat tidak dapat diputuskan selama masih terdapat konflik, dan tanah ulayat hanya akan diakui setelah disetujui sebagai tanah adat.
Pembahasan terkait batas wilayah juga menjadi perhatian, di mana beberapa perwakilan mencatat bahwa batas MHA dapat disamakan dengan batas desa, namun dapat mempengaruhi batas administrasi, mengingat sifat nomaden MHA. Ada juga pandangan bahwa batas administrasi tidak selalu selaras dengan batas MHA, karena di beberapa tempat, wilayah MHA melampaui batas administrasi yang ada.
Selain itu, langkah BRWA yang telah melakukan registrasi dan verifikasi terhadap peraturan daerah dan keputusan kepala daerah terkait, yang bisa menjadi dasar dalam penerbitan kode wilayah untuk tanah ulayat menjadi sorotan, serta perlu mempertimbangkan dampak dari penerbitan kode wilayah adat, termasuk potensi crash action dengan pihak internasional, anggaran, dan dampak terhadap kedaulatan.
Di sisi lain, bagian Perundang-Undangan (PUU) menekankan pentingnya mencermati substansi dari Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, guna menghindari penafsiran yang berbeda.
“Kami berkomitmen untuk menjaga sinergi antar kementerian dalam mengakui dan melindungi hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan akan terus mendorong penerbitan keputusan-keputusan yang sesuai dengan kebutuhan MHA, termasuk memastikan batas wilayah adat yang jelas dan penerbitan kode wilayah yang akurat,” pungkas Raziras.
Biro Hukum menambahkan bahwa hingga saat ini belum ada surat edaran bersama lintas K/L terkait MHA, dan menyarankan agar Kemendagri mengeluarkan surat edaran yang ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri untuk mencakup kebutuhan lintas K/L terkait MHA. (*)