
Jakarta, Nusantara Info: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali bertemu di Gedung Putih pada Senin (29/9/2025) untuk membahas rencana damai yang disebut sebagai “21 poin perdamaian Gaza”. Rencana ini diklaim Trump sebagai langkah bersejarah untuk mengakhiri perang di Gaza dan membuka jalan menuju pembentukan negara Palestina.
Meski Trump menegaskan optimismenya, para pengamat menilai janji tersebut masih diragukan, apalagi setelah Trump sebelumnya sempat mengklaim secara keliru bahwa ia telah mengakhiri tujuh perang.
Isi Utama Rencana 21 Poin Trump
Dalam dokumen yang mulai terungkap akhir pekan lalu, terdapat sejumlah poin kunci yang diajukan Trump, di antaranya:
- Menuju pembentukan negara Palestina, meski hal ini secara historis selalu ditolak Israel.
- Pertukaran sandera: pembebasan 20 sandera yang masih hidup di Gaza dan pengembalian jasad sandera yang telah meninggal, ditukar dengan ratusan warga Palestina yang ditahan di Israel.
- Israel akan membebaskan 250 tahanan seumur hidup dan 1.700 warga Gaza yang ditahan sejak serangan 7 Oktober.
- Untuk setiap jasad sandera Israel yang dikembalikan, Israel akan menyerahkan jasad 15 warga Gaza.
- Penggulingan Hamas dan pelucutan senjata organisasi tersebut.
- Reformasi Otoritas Palestina (PA) agar lebih kredibel di mata internasional.
- Janji Israel untuk tidak menyerang Qatar, yang berperan sebagai mediator.
- Rencana ekonomi Gaza yang mencakup pembangunan infrastruktur, lapangan kerja, serta program pemulihan.
- Jaminan keamanan Gaza yang akan diawasi AS dan negara kawasan.
- Kepulangan warga Gaza yang mengungsi tanpa paksaan bagi yang masih tinggal.
- Pemerintahan transisi Gaza melalui Gaza International Transitional Authority (GITA), dengan kemungkinan mantan anggota Hamas tetap tinggal atau pindah ke negara lain.
- Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menghentikan operasi militer setelah kesepakatan tercapai, serta larangan Israel untuk mencaplok Gaza.
- Akses penuh bantuan kemanusiaan internasional ke Gaza tanpa hambatan dari kedua pihak.
Rencana tersebut juga menekankan bahwa Gaza tidak boleh lagi digunakan sebagai basis serangan ke Israel, sementara pengawasan akan dilakukan oleh lembaga transisi internasional.
Asal-usul Rencana 21 Poin
Menurut utusan AS Steve Witkoff, rencana ini disampaikan Trump dalam pertemuan sela Sidang Umum PBB bersama pemimpin Arab dan Islam, termasuk Qatar, Arab Saudi, Indonesia, Turki, Pakistan, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Yordania.
Laporan juga menyebut Tony Blair Institute for Global Change mendukung rencana ini, dengan kemungkinan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair memimpin GITA. Namun, keterlibatan Blair dinilai kontroversial di kawasan karena rekam jejaknya pada invasi Irak 2003.
Respons Israel dan Hamas
Sikap Netanyahu cenderung berhati-hati. Kepada Fox News, ia mengatakan: “Kami sedang mengerjakannya. Belum final, tapi kami bekerja sama dengan tim Presiden Trump.”
Sementara Hamas menegaskan belum pernah menerima paparan resmi soal rencana itu. Namun, dalam pernyataannya pada Minggu (28/9/2025), kelompok tersebut menyebut siap mempertimbangkan secara positif setiap usulan damai asalkan melindungi hak-hak rakyat Palestina.
Di pihak Israel, resistensi muncul dari Menteri Keuangan sayap kanan Bezalel Smotrich. Ia menolak keterlibatan Otoritas Palestina dan menegaskan bahwa keamanan Israel hanya bisa dijamin melalui kendali militer penuh.
Rencana 21 poin Trump muncul di tengah meningkatnya jumlah negara Barat, seperti Inggris, Prancis, dan Kanada, yang telah mengakui negara Palestina. Namun, Netanyahu mengecam langkah tersebut sebagai “tindakan tercela”.
Meskipun masih jauh dari final, dokumen ini dianggap sebagai upaya paling konkret yang pernah ditawarkan Trump untuk mengakhiri perang Gaza. Namun, banyak pihak menilai implementasinya akan menghadapi hambatan besar, baik dari internal Israel maupun Hamas. (*)