Drakor Bikin Dunia Terpukau, Sinetron Indonesia Masih “Kejar Tayang”! Apa yang Salah?

Bagikan

Drakor Bikin Dunia Terpukau, Sinetron Indonesia Masih “Kejar Tayang”! Apa yang Salah?
Drakor Winter Sonata (2001). (Foto: Istimewa)

Jakarta, Nusantara Info: Drama Korea (drakor) telah menjadi fenomena global sejak pertama kali muncul pada 1960-an. Kini, tayangan asal Negeri Ginseng itu tak hanya menguasai pasar Asia, tetapi juga menembus Amerika dan Eropa berkat kualitas produksi tinggi, alur cerita solid, serta strategi distribusi yang efektif.

Sementara itu, industri sinetron Indonesia justru masih bergulat dengan masalah klasik: produksi kejar tayang, cerita bertele-tele, dan kualitas teknis yang stagnan.

Sejarah drama Korea dimulai tahun 1962 melalui stasiun televisi KBS, dan sejak itu berkembang menjadi bagian penting dari budaya pop global.

Lewat drama seperti Winter Sonata (2001), Jewel in The Palace (2004), hingga Crash Landing on You (2019), Korea Selatan berhasil menjual bukan hanya hiburan, tapi juga citra budaya dan gaya hidup mereka.

Kuncinya? Produksi yang matang dan terkendali.

Setiap serial modern Korea rata-rata hanya terdiri dari 16–20 episode yang seluruhnya telah rampung sebelum tayang (pre-production). Strategi ini menjamin konsistensi kualitas cerita, sinematografi, hingga efek visual, sekaligus memungkinkan jadwal rilis hampir serentak di seluruh dunia.

Pada 2022, pasca-pandemi, Korea Selatan bahkan memproduksi 160 drama baru, hampir satu judul setiap 2,5 hari.

Dengan biaya produksi mencapai miliaran won per episode (setara puluhan miliar rupiah), mereka berhasil mengubah tontonan televisi menjadi industri ekspor bernilai global.

Sinetron Indonesia: Produktif, tapi Terjebak Kejar Tayang

Berbeda dengan Korea Selatan, industri sinetron Indonesia masih berada di jalur yang sama sejak dua dekade terakhir.

Fenomena “kejar tayang” menjadikan kualitas cerita dan produksi kerap dikorbankan demi memenuhi jadwal penayangan harian.

Beberapa judul bahkan mencapai ribuan episode, seperti Tukang Ojek Pengkolan (3.000+ episode), Tukang Bubur Naik Haji (2.000+), dan Cinta Fitri (1.000+).

Jika dibandingkan dengan serial Friends dari Amerika yang hanya 236 episode dalam 10 tahun, jumlah ini memang luar biasa produktif tetapi justru menjadi bukti kurangnya perencanaan dan kontrol kualitas.

Alur cerita sering melenceng, karakter kehilangan arah, dan episode diperpanjang hanya demi menjaga rating atau memenuhi kontrak iklan.

Baca Juga :  Kabar Gembira! Ada Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor di Papua Sampai 31 Oktober 2022

Kritik terhadap pola kerja yang tidak manusiawi dan representasi sosial yang tidak realistis pun sering muncul. Namun, hingga 2025, sistem produksi cepat ini masih mendominasi televisi nasional.

Jurang Produksi: Ketimpangan Dana dan Strategi

Salah satu alasan utama perbedaan kualitas ada pada besaran anggaran produksi. Drama Korea seperti Squid Game menghabiskan dana sekitar ₩100 miliar atau hampir Rp1,2 triliun untuk 16 episode. Artinya, satu episode bernilai Rp74 miliar.

Sebaliknya, sinetron Indonesia rata-rata hanya berbiaya Rp500 juta hingga Rp1 miliar per episode, dengan jadwal syuting yang jauh lebih padat.

Produksi lokal yang paling mendekati standar drakor mungkin adalah “Gadis Kretek” (2023), dengan biaya sekitar Rp2–6 miliar per episode.

Menariknya, serial ini terbukti sukses besar: masuk daftar Top 10 global Netflix dua minggu berturut-turut dan menembus pasar internasional berkat kualitas sinematografi dan naskah yang kuat.

Potensi Indonesia: Pasar Besar, Tantangan Lebih Besar

Meski basis penonton televisi menurun, potensi pasar digital Indonesia masih sangat besar.
Di Korea Selatan, 40–50 persen populasi berlangganan layanan OTT seperti Netflix atau Viu. Di Indonesia, angkanya baru sekitar 3 persen, artinya ruang tumbuh masih luas.

Kesuksesan serial lokal seperti Layangan Putus (2021) dan Private Bodyguard (2024) menunjukkan bahwa penonton Indonesia siap menyambut tontonan berkualitas, asal diproduksi dengan pendekatan profesional, bukan sekadar kuantitas.

Pelajaran penting dari Korea Selatan adalah kedisiplinan industri: mulai dari penulisan naskah, perencanaan produksi, hingga strategi distribusi global.

Indonesia memiliki sumber daya kreatif yang besar, aktor berbakat, dan pasar yang luas namun tanpa restrukturisasi sistem produksi, sinetron kita akan terus kalah di ranah global.

Jika formula drakor dengan kualitas tinggi, durasi terbatas, produksi terencana, dan distribusi internasional benar-benar diterapkan, maka bukan mustahil suatu hari nanti dunia akan menonton “Indodrama” sebagaimana mereka menggemari drama Korea hari ini. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait