Fenomena Childfree di Indonesia: Antara Hak Hidup dan Tekanan Budaya

Bagikan

Di tengah budaya yang menjunjung tinggi keluarga besar dan keturunan, muncul kelompok yang memilih jalan berbeda: hidup tanpa anak.

Jakarta, Nusantara Info: Dalam beberapa tahun terakhir, istilah childfree mulai sering muncul dalam percakapan publik di Indonesia, baik di media sosial, podcast, hingga forum diskusi keluarga. Childfree merujuk pada keputusan sadar individu atau pasangan untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun adopsi, sepanjang hidup mereka.

Childfree adalah pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun melalui adopsi sepanjang hidup. Istilah ini berbeda dari childless, yang biasanya mengacu pada kondisi tidak memiliki anak karena alasan medis atau keadaan tertentu.

Meski bukan konsep baru di dunia, di Indonesia, pilihan ini masih memantik pro dan kontra, terutama karena bersinggungan dengan nilai budaya, agama, dan ekspektasi sosial.

Di negara-negara Barat, konsep childfree bukan hal baru. Namun di Indonesia, fenomena ini masih dianggap tidak lazim dan memicu pro dan kontra, terutama karena berseberangan dengan norma budaya dan agama yang menjunjung tinggi keberlanjutan garis keturunan.

Asal Mula dan Makna Childfree

Secara global, gerakan childfree telah ada sejak era 1970-an, terutama di negara-negara Barat, sebagai bagian dari gerakan kebebasan perempuan, hak atas tubuh, dan kesetaraan gender. Namun, dalam konteks modern, keputusan untuk hidup childfree juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kondisi lingkungan, ekonomi, mental health, dan kebebasan pribadi.

Di Indonesia, gerakan ini mulai mendapat sorotan sejak beberapa tokoh publik seperti Gita Savitri Devi dan beberapa figur media sosial menyatakan sikap childfree-nya secara terbuka. Pernyataan itu memicu perdebatan luas dan menjadi bahan refleksi sosial tentang kebebasan memilih dalam membentuk keluarga.

Berbagai alasan melatarbelakangi keputusan menjadi childfree, dan setiap individu memiliki latar yang unik. Dikutip dari berbagai sumber, berikut beberapa alasan umum kenapa memilih childfree.

  1. Kesehatan Mental dan Fisik
    Sebagian memilih childfree karena trauma masa kecil, kondisi psikologis, atau pertimbangan kesehatan yang tidak memungkinkan.
  2. Karier dan Kebebasan Pribadi
    Beberapa orang merasa memiliki anak akan membatasi pencapaian karier, gaya hidup, atau kebebasan pribadi.
  3. Kondisi Ekonomi dan Lingkungan
    Kekhawatiran terhadap beban biaya hidup, kondisi bumi, serta masa depan anak di dunia yang semakin kompleks membuat sebagian memilih tidak membawa anak ke dunia ini.
  4. Pilihan Ideologis
    Ada pula yang menganggap bahwa memiliki anak bukan satu-satunya bentuk keberhasilan hidup, dan hidup bermakna bisa diwujudkan dengan cara lain, seperti berkarya, mengabdi, atau mendampingi komunitas.
Baca Juga :  Kemendagri: Setiap ASN Punya Peran Penting Dalam Penyerapan Anggaran Daerah

Tantangan Sosial dan Stigma Budaya

Di Indonesia, keluarga besar dan keturunan masih dianggap sebagai tolok ukur kebahagiaan dan keberhasilan rumah tangga. Pasangan yang memilih childfree seringkali dianggap egois, belum dewasa, atau bahkan melawan kodrat. Tekanan sosial muncul dari berbagai arah—keluarga, tetangga, hingga lingkungan kerja.

Stigma terhadap pasangan childfree terjadi karena masyarakat kita belum terbiasa memisahkan nilai kebahagiaan dari peran reproduktif. Padahal, kebahagiaan rumah tangga itu sangat personal.

Namun, di sisi lain, komunitas childfree kini mulai tumbuh dan memberikan ruang aman bagi mereka yang memilih jalan ini. Media sosial menjadi tempat berbagi pengalaman, membangun dukungan, dan membuka percakapan yang lebih terbuka tentang bentuk keluarga alternatif.

Secara hukum, tidak ada larangan bagi pasangan menikah untuk memilih hidup tanpa anak. Namun, secara keagamaan, pandangan bisa beragam tergantung tafsir. Sebagian ulama atau tokoh agama melihat anak sebagai amanah dan bagian dari ibadah, sementara yang lain menekankan bahwa tidak semua orang wajib memiliki anak jika memang tidak mampu mengemban tanggung jawabnya.

Karena itu, penting bagi masyarakat untuk membangun empati dan ruang diskusi tanpa menghakimi.

Arah Masa Depan: Lebih Toleran atau Terpecah?

Fenomena childfree adalah bagian dari dinamika masyarakat modern yang terus berkembang. Semakin banyak generasi muda yang mempertanyakan nilai-nilai konvensional dan berani memilih jalan hidup yang sesuai dengan prinsip serta kondisi mereka. Meski tidak semua akan setuju, kehadiran wacana ini memperkaya diskursus publik dan mendorong masyarakat untuk lebih inklusif terhadap berbagai pilihan hidup.

Childfree bukan tentang menolak anak, tapi tentang memilih kehidupan yang paling autentik dan bertanggung jawab bagi diri sendiri. Di tengah tekanan budaya dan sosial, keputusan ini justru menunjukkan kesadaran dan keberanian tinggi. Karena pada akhirnya, menjadi orang tua adalah panggilan, bukan kewajiban universal. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait