
Jakarta, Nusantara Info: Ada pertanyaan yang sangat mengganggu terkait dengan harga pekaian jadi yang diimpor yaitu pakaian bekas dan fast fashion: Mengapa harganya sangat murah?
Soalnya, harga bahan paling murah untuk kemeja laki-laki dewasa, misalnya, Rp 60.000 dengan upah jahit antara Rp 200.000 – Rp 250.000. Rata-rata biaya sebuah kemeja laki-laki dewasa dengan bahan termurah Rp 250.000.
Bandingkan dengan kemeja, yang katanya pakaian bekas impor dan fast fashion yang paling mahal Rp 100.000 – Rp 200.000. Harga ini untuk pakaian bekas layak pakai yang dikenal sebagai thrifting maupun produk fast fashion (industri pakaian jadi yang meniru tren mode dan dijual dengan harga murah).
Kok bisa?
Padahal, pakaian yang diimpor harus bayar pajak dan bea masuk. Besarnya bervariasi tergantung jenis pakaian dan asal negara pengekspor pakaian tersebut.
Selain itu masih ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang besarnya 11%. Bahkan, mulai 1 Januari 2025, pakaian impor yang dijual di dalam negeri akan dikenakan PPN sebesar 12%.
Selain itu pemerintah juga bisa mengenakan biaya masuk tambahan (BMTP) atau bea masuk anti-dumping (BMAD) ketika lonjakan impor produk pakaian jadi mengganggu industri dalam negeri.
Hanya saja barang impor dengan nilai di bawah 3 dolar AS setara dengan Rp 50.136 (kurs 1 dolar AS Rp 16.712) bebas dari bea masuk dan PPN.
Maka, bisa jadi harga pakaian jadi impor karena biaya produksi yang lebih rendah di negara asal atau pekerja dengan kerja paksa, skala produksi yang besar, ketersediaan bahan baku yang melimpah. Namun, bisa juga terjadi karena praktik dumping yaitu menjual barang dengan harga murah di luar negeri.
“Ya, kami hanya bisa pasrah,” kata seorang penjahit di Pasar Sunan Giri, Rawamangun, Jakarta Timur, pada Nusantara Info, Kamis (13/11/2025), dalam menghadapi geliat pasar yang kian lesu.
Biasanya menjelang Lebaran, Natal dan Tahun Baru tukang jahit di pasar itu menerima pesanan yang banyak, tapi sejak ada impor pakaian jadi pesanan harian dan hari-hari besar keagamaan jauh berkurang.
Seorang penjahit mengatakan jelang Natal biasanya ada saja pesanan pakain untuk paduan suara, tapi ini sudah dekat Natal belum ada pesanan borongan. “Mudah-mudahan beberapa hari ke depan ada pesanan,” ujarnya dengan nada rendah sambil menundukkan kepala seakan berdoa.
Bertolak dari hasil penelitian terkait industri batik untuk disertasi doktor (2019), Suparno, staf pengajar di Prodi Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarat (UNJ), melihat pemerintah perlu menangani industri tekstil dengan regulasi dari hulu sampai hilir.
Lagi pula, seperti diingatkan Suparno, sandang (pakaian) merupakan bagian dari tiga bahan kebutuhan pokok, yaitu: sandang (pakaian), pangan (minuman dan makanan), serta papan (rumah).
Suparno berharap pemerintah memberikan kemudahan bagi perancang lokal untuk memperoleh ‘hak paten’ dan melindungi pemasaran produk lokal. Hal ini dikatakan Suparno kepada Nusantara Info di Jakarta pada Selasa (11/11/2025).
Menurutnya, hal ini merupakan bagian dari upaya pemerintah mendorong ekonomi kreatif di sektor mode yang pada akirnya terkait erat dengan budaya bangsa agar tidak ditelan masa.
Seperti batik, misalnya, Suparno berharap ada regulasi yang kuat agar batik dalam negeri bisa bertahan menghadapi batik impor yang harganya jauh lebih murah. Artinya, ‘batik’ impor dikenakan bea masuk dan pajak sehingga harganya jauh di atas harga batik produk lokal.
Melindungi produk prancang lokal yaitu dengan menerapkan biaya dan pajak terhadap pakaian yang diimpor, baik pakaian bekas maupun yang baru, sehingga harga pakaian jadi impor akan lebih mahal daripada harga pakaian jadi produk lokal.
Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Harga pakain bekas dan pakaian jadi impor jauh lebih murah daripada harga pakaian produk asli lokal.
Kondisinya kian runyam karena literasi yang sangat rendah terkait dengan upaya menyelematkan perekonomian nasional di sektor garmen (pakaian jadi). Setengah orang memilih membeli pakaian thrifting atau produk fast fashion biarpun barang tersebut cacat secara hukum. Misalnya, impor ilegal atau impor tanpa membayar bea dan pajak serta diproduksi oleh pekerja paksa yang secara empiris merugikan perekonomian nasional.
Kondisi itu membuat industri kecil dan menengah serta tukang jahit terkait dengan industri konveksi lokal terpuruk yang mengakibatkan jutaan orang terganggu penghasilannya, sementara perdagangan thrifting dan produk fast fashion hanya menyangkut ribuan orang. (*)






