
Jakarta, Nusantara Info: Hukum perceraian dan norma sosial di banyak negara Asia masih mempersulit perempuan, menimbulkan tekanan emosional sekaligus finansial yang berat. Meski angka perceraian meningkat, perempuan kerap menghadapi stigma, diskriminasi, dan hambatan struktural yang menyulitkan mereka mengakhiri pernikahan yang tidak bahagia.
Zoya Ahmed, 33 tahun, warga Karachi, Pakistan, tengah menjalani proses perceraian yang rumit. Keputusannya untuk berpisah justru berujung tuduhan palsu dari sang suami, termasuk tuduhan perselingkuhan dan sengketa harta.
“Kasus perselingkuhan ini sangat merugikan perempuan. Rasa malu yang harus saya tanggung di ruang siding, di mana dalam ruang sidang penuh laki-laki, cara mereka menatap saya, itu pengalaman yang menakutkan,” ujarnya.
Ahmed menyebut ketidakcocokan seksual sebagai salah satu alasan keretakan rumah tangganya. Ia mengaku dipermalukan sang suami dengan menjadikan keinginannya akan keintiman sebagai alat untuk merendahkannya. Beberapa teman pria juga ikut diseret dalam kasus tersebut, semakin merusak reputasinya.
Perceraian: Antara Hukum dan Stigma
Di Pakistan, perceraian diperbolehkan menurut hukum Islam. Namun, perempuan kerap harus mengembalikan atau melepaskan Haq Mehr (mahar) sebagai kompensasi. Bahkan, ada yang kehilangan hak khula (hak cerai perempuan Muslim) karena dihapus dari kontrak pernikahan mereka.
Seorang perempuan berusia 34 tahun menceritakan upayanya bercerai berubah menjadi pertempuran panjang setelah mengetahui klausul khula hilang dari akad nikahnya. Sementara itu, Naveen Notiar, perempuan Pakistan yang kini tinggal di Inggris, mengingat perceraian orang tuanya dan perebutan hak asuh anak yang dijadikan senjata untuk menekan ibunya.
Studi tahun 2020 terhadap 427 perempuan yang sudah bercerai di Provinsi Punjab, Pakistan, menemukan tingginya tingkat depresi, kecemasan, dan stres akibat ketidakpastian finansial dan penolakan keluarga.
Filipina: Perceraian Masih Ilegal
Berbeda dengan Pakistan, Filipina adalah satu dari hanya dua wilayah di dunia di mana perceraian masih ilegal (selain Kota Vatikan). Pasangan hanya bisa mengakhiri pernikahan melalui pembatalan (annulment), proses yang panjang dan mahal.
Ana P. Santos, jurnalis Filipina, mengaku beruntung bisa menyelesaikan annulment selama empat tahun. Namun banyak perempuan tak sanggup menanggung biaya dan beban emosionalnya. Proses annulment juga menuntut bukti penipuan, ketidakmampuan mental, atau impotensi sehingga perempuan terpaksa membuka pengalaman pribadinya di pengadilan.
“Perempuan sering dicap buruk hanya karena ingin berpisah dari suaminya,” kata Athena Charanne Presto, sosiolog Filipina. Akibatnya, banyak perempuan memilih berpisah secara informal tanpa pengakuan hukum.
Ketergantungan Finansial dan Kolektivisme
Menurut peneliti gender Pakistan, Bela Nawaz, ketergantungan finansial dan pola pikir kolektivisme memperberat situasi perempuan.
“Kita hidup sebagai satu kesatuan keluarga, bukan individu. Itu membuat perempuan sangat sulit mengambil keputusan mandiri,” jelasnya.
Pola pikir ini membuat kehormatan keluarga lebih diutamakan ketimbang kesejahteraan pribadi. Perempuan yang keluar dari pernikahan sering dianggap egois atau amoral, bahkan dikucilkan oleh lingkungan.
Di Filipina, menurut Presto, tekanan keluarga dan tokoh masyarakat kerap menghalangi perempuan sebelum mereka sempat mengajukan annulment.
Butuh Perubahan Budaya dan Akses Ekonomi
Para ahli menilai reformasi hukum saja tidak cukup. Tanpa perubahan budaya, pendidikan publik, dan peningkatan kesempatan ekonomi bagi perempuan, kesetaraan gender dalam urusan perceraian akan sulit terwujud.
Di banyak wilayah Asia, perceraian masih dipandang tabu dan sebagai isu gender. Bagi perempuan, keputusan meninggalkan pernikahan dianggap tindakan radikal, bukan hak yang setara. (*)