
Gaza, Nusantara Info: Serangan udara yang dilancarkan Israel di Jalur Gaza kembali menewaskan sedikitnya 50 orang, termasuk lebih dari 20 orang anak-anak, pada Rabu (29/10/2025). Pejabat rumah sakit dan Badan Pertahanan Sipil Gaza mengonfirmasi bahwa ratusan warga lainnya mengalami luka-luka akibat rentetan serangan tersebut.
Juru bicara Badan Pertahanan Sipil Gaza, Mahmud Bassal, menyebut serangan yang terjadi Selasa malam itu merupakan pelanggaran nyata terhadap perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya.
“Serangan ini merupakan pelanggaran yang jelas dan terang-terangan terhadap perjanjian gencatan senjata,” ujar Bassal, dikutip dari AFP.
Menurut Bassal, serangan Israel menargetkan tenda-tenda pengungsi, rumah-rumah warga, dan area di sekitar rumah sakit di berbagai wilayah Gaza. Badan pertahanan sipil yang beroperasi di bawah otoritas Hamas itu menegaskan bahwa di antara korban tewas terdapat perempuan, anak-anak, dan lansia.
Korban Tewas dan Luka Terus Bertambah
Berdasarkan laporan Associated Press (AP), sejumlah rumah sakit di Gaza melaporkan jumlah korban yang terus meningkat.
- Rumah Sakit Aqsa di Deir al-Balah menerima 10 jenazah, termasuk enam anak dan tiga perempuan.
- Rumah Sakit Nasser di Khan Younis menerima 20 jenazah, 13 di antaranya anak-anak.
- Rumah Sakit Al-Awda di Gaza tengah melaporkan 30 korban tewas, termasuk 14 anak-anak.
Total sedikitnya 50 korban jiwa tercatat, sementara 200 orang lainnya luka-luka, kebanyakan akibat reruntuhan bangunan dan ledakan udara.
Serangan ini disebut sebagai balasan Israel atas tewasnya seorang tentaranya, Yona Efraim Feldbaum (37 tahun), di Rafah setelah kendaraan rekayasa yang ia tumpangi terkena tembakan. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kemudian memerintahkan militer melakukan “serangan besar-besaran” ke wilayah Gaza.
Gencatan Senjata yang Rapuh dan Tuduhan Pelanggaran
Perdamaian sementara yang dimulai sejak 10 Oktober 2025 kini kembali terancam. Kedua pihak saling menuduh telah melanggar kesepakatan gencatan senjata.
Israel menuding Hamas menembaki pasukan mereka di selatan Gaza dan menunda penyerahan jenazah sandera, sedangkan Hamas membantah tuduhan itu dan menyebut pihaknya tetap berkomitmen pada kesepakatan.
“Para prajurit kami tidak terlibat dalam insiden penembakan di Rafah,” tegas Hamas dalam pernyataannya, dikutip dari AP.
Hamas juga menunda penyerahan jenazah seorang sandera yang sebelumnya dijadwalkan pada Selasa (28/10/2025), menyebut eskalasi Israel “menghambat pencarian dan pengembalian jenazah.”
Pemerintah Israel menuduh Hamas melakukan rekayasa terkait pengembalian jenazah sandera. Juru bicara pemerintah Israel, Shosh Bedrosian, menyebut Hamas “menggali lubang dan menyerahkan sisa tubuh lama yang bukan bagian dari kesepakatan baru.”
Sementara Forum Keluarga Sandera dan Orang Hilang di Israel mendesak pemerintah agar “bertindak tegas terhadap pelanggaran” tersebut.
Di sisi lain, juru bicara Hamas Hazem Qassem membantah tuduhan itu dan menegaskan bahwa pemboman Israel selama dua tahun terakhir telah membuat banyak lokasi penguburan hancur.
“Gerakan Hamas bertekad menyerahkan jenazah para tawanan Israel secepatnya setelah mereka ditemukan,” ujarnya.
Warga Gaza Ketakutan: Kami Hanya Ingin Hidup Tenang
Warga Gaza kembali dilanda ketakutan setelah serangan terbaru. Khadija al-Husni, warga kamp pengungsi Al-Shati, menggambarkan situasi memilukan yang mereka alami.
“Kami baru saja mulai bernapas lagi, mencoba membangun hidup kami kembali, ketika pengeboman datang lagi. Ini kejahatan,” katanya, dikutip dari AFP.
Sementara warga lain, Jalal Abbas (40 tahun), mengatakan bahwa masyarakat Gaza terus hidup dalam ketakutan akan dimulainya perang baru.
“Saya sudah menduga eskalasi dan pengeboman akan dimulai lagi karena Israel selalu mencari alasan,” ujarnya.
Sejak perang dimulai pada Oktober 2023, konflik antara Israel dan Hamas telah menewaskan lebih dari 68.500 warga Palestina dan 1.221 orang di pihak Israel, sebagian besar warga sipil. Meski gencatan senjata sempat diberlakukan, serangan udara terbaru menunjukkan bahwa perdamaian di Gaza masih jauh dari kata pasti. (*)
 
									





