Tokyo, Nusantara Info: Jepang kembali berada di ujung tanduk bencana. Puluhan warga di Kepulauan Tokara, wilayah terpencil di selatan Jepang, terpaksa dievakuasi setelah lebih dari 1.700 gempa mengguncang kawasan tersebut dalam waktu kurang dari tiga pekan.
Lonjakan aktivitas seismik yang dimulai sejak 21 Juni ini mencatat puncaknya pada Senin (7/7/2025), saat 60 gempa terjadi hanya dalam sehari, termasuk beberapa getaran kuat bermagnitudo 5 yang mengguncang Pulau Akusekijima.
Menyikapi kondisi ini, pemerintah Jepang langsung mengaktifkan rencana darurat terbaru yang telah disetujui pada 1 Juli lalu. Pembaruan besar ini dirancang untuk melindungi penduduk dari kemungkinan terburuk, yakni gempa dahsyat yang dipicu zona patahan Nankai Trough—ancaman laten yang berpotensi menelan ratusan ribu korban jiwa.
Aktivitas Seismik Tak Biasa di Kepulauan Tokara
Badan Meteorologi Jepang menyatakan bahwa meski wilayah selatan memang dikenal aktif secara geologis, intensitas dan durasi gempa saat ini tergolong luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Namun, para ahli menegaskan bahwa lonjakan gempa ini belum menjadi sinyal langsung akan terjadinya gempa besar Nankai Trough, meski risiko tersebut tetap membayangi. Kepulauan Tokara sendiri berada di jalur antara Pulau Kyushu dan Okinawa, lokasi strategis yang rawan guncangan tektonik.
Nankai Trough: Bom Waktu Seismik Jepang
Zona subduksi Nankai Trough, yang membentang sepanjang 900 kilometer dari barat Kyushu hingga Tokyo, diperkirakan memiliki peluang 80% mengalami gempa bermagnitudo 9 dalam 30 tahun ke depan.
Laporan pemerintah pada Maret 2025 memperkirakan bahwa sebanyak 298.000 jiwa dapat menjadi korban, mayoritas akibat tsunami. Meski jumlah ini turun dari proyeksi 332.000 jiwa pada tahun 2014, ancaman tetap nyata, dengan potensi kerusakan lebih dari 2 juta bangunan.
Kota Kuroshio di Prefektur Kochi disebut sebagai salah satu wilayah dengan risiko tertinggi, di mana tsunami setinggi 34 meter diprediksi bisa menerjang daratan hanya dalam 5 menit setelah gempa.
Upaya Mitigasi: Antara Infrastruktur dan Edukasi
Pemerintah Jepang telah membangun tanggul laut, menara evakuasi tsunami, dan memperketat regulasi keselamatan nuklir. Namun, menurut Takeshi Sagiya, profesor mitigasi bencana dari Universitas Nagoya, edukasi publik tetap menjadi faktor kunci.
“Yang lebih penting adalah mengajarkan masyarakat bagaimana bereaksi cepat ketika gempa terjadi. Infrastruktur bisa rusak, tapi pengetahuan bisa menyelamatkan nyawa,” tegasnya.
Sagiya menekankan, tsunami di Nankai bisa datang hanya dalam waktu 5 menit—jauh lebih cepat dibanding tsunami Tohoku 2011 yang memerlukan 30 menit namun tetap menewaskan hampir 20.000 orang.
Pelajaran dari Fukushima dan Ancaman Pembangkit Nuklir Sendai
Kazuto Suzuki, profesor dari Universitas Tokyo, mengingatkan pentingnya belajar dari bencana Fukushima 2011, saat reaktor nuklir meledak akibat kegagalan sistem cadangan energi.
Kini, meskipun Jepang sudah memperketat aturan, Pembangkit Nuklir Sendai di Prefektur Kagoshima dinilai masih sangat rentan.
“Sendai bukan yang paling dekat dengan Nankai Trough, tapi justru itulah yang membuatnya berbahaya. Potensi kerusakan serius tetap ada,” kata Suzuki.
Aktivitas gempa yang mengguncang Jepang selatan menjadi alarm keras akan urgensi kesiapsiagaan nasional. Di negeri yang menyumbang 18% dari seluruh gempa besar dunia, tiada ruang untuk kelengahan. Evakuasi, edukasi, dan rekayasa infrastruktur harus terus diperkuat agar sejarah kelam 2011 tak terulang. (*)