
Flores, Nusantara Info: Di sebuah sudut sunyi di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, terdapat sebuah kampung adat yang seakan membeku dalam waktu. Kampung Bena, sebuah perkampungan megalitikum berusia ribuan tahun berdiri anggun di puncak bukit Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada.
Letaknya yang menghadap megah ke Gunung Inerie membuat Bena tampak seperti negeri kecil yang dijaga langsung oleh para dewa. Bagi masyarakat setempat, gunung bukan sekadar lanskap alam, melainkan kediaman sakral para leluhur dan dewa pelindung.
Sejak masa lampau, masyarakat tua Flores memercayai gunung sebagai pusat kosmos, tempat segala kehidupan bermula dan berakhir. Di Bena, keyakinan itu masih terpelihara kuat. Mereka meyakini keberadaan Dewa Yeta, sosok ilahi yang diyakini bersemayam di puncak Gunung Inerie, menjaga dan melindungi kampung dari segala mara bahaya.
Kedekatan masyarakat Bena dengan Inerie membentuk harmoni unik antara alam, kepercayaan, dan budaya yang bertahan berabad-abad lamanya hingga kini.
Untuk mencapai Kampung Bena, perjalanan dapat ditempuh dari Bajawa dengan kendaraan sewaan selama sekitar 30–40 menit, menempuh jarak 19 kilometer ke arah selatan. Sedangkan dari Labuan Bajo, wisatawan harus menempuh perjalanan darat sekitar 7–8 jam menuju Bajawa.
Perjalanan panjang itu sebanding dengan pemandangan yang tersaji: rumah-rumah adat beratap ijuk tersusun melengkung dalam formasi huruf U yang menghadap langsung ke gagahnya Gunung Inerie.
Saat ini, Kampung Bena dihuni oleh sekitar 45 rumah tradisional yang terbagi dalam 9 suku: Dizi, Dizi Azi, Wahto, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Ngada, Khopa, dan Ago. Masing-masing suku menempati tingkat ketinggian berbeda, mulai dari tingkatan pertama hingga kesembilan. Setiap rumah dilengkapi ornamen khas yang menandakan garis keturunan pemiliknya.
Struktur melingkar ini bukan hanya estetika, tetapi mencerminkan tatanan sosial dan spiritual masyarakat Bena yang menjunjung tinggi keteraturan dan penghormatan kepada leluhur.
Di pusat kampung, berdiri dua simbol leluhur yang menjadi jantung adat Bena: nga’du dan bhaga.
Nga’du melambangkan nenek moyang laki-laki, berupa struktur menyerupai payung berpeneduh dengan satu tiang utama dari kayu keras. Tiang ini bukan sekadar simbol, melainkan digunakan sebagai tempat menggantung hewan kurban saat upacara adat besar.
Di sisi lain, bhaga melambangkan nenek moyang perempuan dengan bentuk mirip rumah kecil. Keduanya menjadi titik sakral bagi masyarakat karena di sinilah mereka berkomunikasi dengan para leluhur melalui ritual adat.
Menariknya, pengunjung tidak dikenakan tiket masuk ketika memasuki Kampung Bena. Para tamu cukup mengisi buku kunjungan dan memberikan donasi sukarela sebagai dukungan untuk pemeliharaan kampung. Aktivitas menenun menjadi pemandangan umum di halaman rumah.
Para perempuan Bena dengan telaten menghasilkan kain tenun khas Flores yang dijual kepada wisatawan dengan harga mulai dari sekitar Rp75.000 untuk syal hingga Rp300.000 bagi kain tenun besar. Wisatawan dari Jerman dan Italia disebut sebagai pengunjung mancanegara terbanyak yang datang untuk menyaksikan kekayaan budaya ini.
Kampung Bena bukan sekadar objek wisata, melainkan saksi hidup perjalanan panjang masyarakat Nusantara sejak masa batu. Tradisinya yang tetap terjaga, ditambah keramahan penduduknya yang hangat, menghadirkan pengalaman autentik tentang bagaimana nenek moyang kita hidup dan memaknai alam. Bagi siapa saja yang melintasi Flores, luangkan waktu sejenak untuk singgah. Di Bena, warisan budaya bukan dipamerkan melainkan dihidupi setiap hari.
Jika Anda ingin menyentuh napas masa lalu Indonesia dan merasakan kehidupan adat yang masih asli, maka Kampung Bena adalah salah satu permata budaya Nusantara yang tidak boleh dilewatkan. (*)






