
Jakarta, Nusantara Info: Sepanjang Januari hingga Juni 2025, sebanyak 42.385 pekerja di Indonesia resmi kehilangan pekerjaan. Berdasarkan data resmi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang diunggah melalui portal Satudata Kemnaker, angka ini melonjak tajam 32,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu
Tiga provinsi mencatatkan jumlah korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terbanyak, yaitu Jawa Tengah 10.995 orang, Jawa Barat 9.494 orang, dan Banten 4.267 orang. Ketiganya dikenal sebagai kawasan padat industri yang kini tengah dihantam krisis berlapis, mulai dari penurunan permintaan pasar global hingga pergeseran model bisnis perusahaan.
“Industri ada yang pasarnya sedang turun. Ada juga yang berubah model bisnis. Belum lagi konflik internal hubungan industrial,” jelas Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli, saat ditemui di Jakarta, Selasa (22/7/2025).
Yassierli menegaskan bahwa pencatatan PHK kini lebih rinci, termasuk mencakup provinsi dan sektor industri terdampak. Langkah ini, menurutnya, penting agar pemerintah bisa mengambil kebijakan yang lebih presisi dalam merespons gejolak tenaga kerja.
Sritex dan Industri Tekstil Jadi Sorotan
Salah satu kasus paling mencolok terjadi di sektor tekstil, dengan tumbangnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang sebelumnya menjadi salah satu ikon industri garmen nasional. Penutupan usaha perusahaan ini menjadi sinyal keras bahwa badai PHK bukan hanya terjadi pada perusahaan kecil, tetapi juga menghantam raksasa industri.
Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi, menyoroti bahwa sektor pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta pertambangan dan penggalian merupakan penyumbang PHK terbanyak sepanjang semester pertama 2025.
“Trennya memang naik, tapi di bulan Juni ini mulai terlihat penurunan. Namun kami masih mendalami faktor-faktor penyebabnya,” ujar Anwar.
Lonjakan PHK di 2025 tak hanya menjadi angka statistik, tetapi juga meninggalkan luka sosial yang dalam. Ribuan keluarga kini menghadapi ketidakpastian ekonomi, sementara jaring pengaman sosial pemerintah dinilai belum optimal menjawab keresahan publik.
Berbagai serikat buruh mendesak pemerintah untuk tidak sekadar mencatat angka, melainkan hadir lebih konkret lewat kebijakan perlindungan pekerja, pelatihan ulang (reskilling), hingga subsidi upah sementara bagi korban PHK.
Krisis PHK ini menguji kesigapan negara dalam melindungi hak pekerja dan menstabilkan sektor ketenagakerjaan. Kenaikan angka PHK menunjukkan bahwa fondasi industri masih rentan terhadap tekanan global dan disrupsi teknologi. Tanpa intervensi serius dan strategi jangka panjang, angka ini berpotensi terus membengkak.
Saat ribuan tangan kehilangan pekerjaan, bukan hanya ekonomi yang terpukul, tapi juga harga diri dan harapan hidup bangsa. (*)