Studi Internasional: Ketimpangan Kerja Rumah Tangga Ancam Kesehatan Mental Perempuan

Bagikan

Ilustrasi ketimpangan kerja rumah tangga picu depresi bagi perempuan. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Nusantara Info: Meski peran ekonomi dalam hubungan romantis terus mengalami perubahan, perempuan di berbagai belahan dunia masih menanggung porsi terbesar pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan. Sejumlah riset internasional menunjukkan, ketimpangan ini bukan sekadar persoalan kelelahan fisik, tetapi berdampak langsung pada kesehatan mental perempuan, termasuk meningkatnya risiko depresi dan kelelahan emosional.

Narasi tentang perempuan yang melakukan lebih banyak pekerjaan domestik mungkin terdengar berulang. Namun, lebih dari dua dekade penelitian menegaskan bahwa ketimpangan beban kerja domestik dan apa yang disebut sebagai mental load atau beban mental memiliki konsekuensi nyata bagi kesejahteraan perempuan.

Rumah tangga kerap dipersepsikan sebagai sumber stabilitas dan kesehatan. Akan tetapi, semakin banyak studi menunjukkan bahwa manfaat tersebut bersifat kondisional, sangat bergantung pada kualitas hubungan, rasa keadilan, dukungan emosional, serta pembagian tanggung jawab yang setara antara pasangan.

“Penting untuk membicarakan betapa besarnya kerja ‘tak terlihat’ dan kerja emosional yang ditanggung perempuan melalui tugas domestik dan peran pengasuhan,” ujar Annie, perempuan berusia 40-an yang tinggal di Thailand. Menurutnya, beban mental ini sering kali tidak diakui, meski menyita energi dan kesehatan emosional perempuan.

Faktor Budaya dan Pola Asuh

Psikoterapis Ben Yalom menilai ketimpangan peran domestik bukan semata-mata kegagalan individu, melainkan hasil konstruksi budaya yang mengakar. Yalom, putra dari psikiater terkemuka Irvin Yalom, menekankan bahwa sebagian besar tugas domestik jatuh pada perempuan karena pola asuh dan norma sosial.

“Banyak ketimpangan peran antara laki-laki dan perempuan berasal dari cara kita dibesarkan. Pada laki-laki, ada semacam didikan maskulinitas yang sering kali tidak kita sadari,” kata Yalom.

Sebaliknya, perempuan dilatih sejak dini untuk menjadi pengasuh dan peka secara emosional. “Akibatnya, laki-laki tidak mengambil peran itu, tidak mempelajarinya, dan hal ini menjadi masalah dalam hubungan,” tambahnya.

Beban Mental yang Menggerus Kesehatan

Ketimpangan tersebut tetap terjadi bahkan ketika kedua pasangan sama-sama bekerja. Perempuan masih memikul beban kerja kognitif dan emosional yang tak terlihat, mulai dari mengatur jadwal keluarga, merencanakan menu harian, hingga mengoordinasikan berbagai kebutuhan rumah tangga.

Sebuah studi berbasis populasi di Swedia terhadap 14.184 orang dewasa menemukan bahwa perempuan menghabiskan hampir dua kali lipat waktu untuk pekerjaan domestik tidak berbayar dibandingkan laki-laki. Sekitar satu dari sepuluh perempuan melaporkan bekerja lebih dari 30 jam per minggu untuk urusan domestik, sementara pada laki-laki angkanya hanya satu dari dua puluh.

Penelitian yang sama menunjukkan perempuan secara signifikan lebih rentan mengalami gejala depresi atau didiagnosis depresi. Tekanan akibat pengelolaan beban kerja domestik disebut sebagai salah satu prediktor kuat gangguan kesehatan mental tersebut.

Baca Juga :  Biji Selasih: Superfood Alami untuk Jantung, Tulang, dan Kulit Sehat

Remi, ibu bekerja penuh waktu di Jerman, mengungkapkan bahwa ketimpangan sering muncul tanpa disadari. “Ini sudah menjadi standar bagi saya, bekerja sekaligus mengurus rumah,” ujarnya.

Sepulang kerja, Remi kerap menjadi orang yang secara otomatis memasak. “Saya suka memasak, tapi kadang benar-benar menguras energi, terutama saat saya sedang tidak menjalani hari yang baik,” katanya.

Banyak perempuan yang diwawancarai menyebut pola serupa: pasangan laki-laki cenderung baru membantu setelah diminta. “Terus-menerus mengingatkan ‘ini perlu dilakukan’ juga merupakan bagian dari stres yang kami tanggung,” ujar Remi.

Menjadi Ibu, Beban Kian Berat

Ketimpangan semakin terasa setelah kehadiran anak. Data longitudinal sejak 2005 terhadap 128 pasangan yang baru menjadi orang tua menunjukkan, beban kerja domestik perempuan meningkat tajam setelah kelahiran anak, sementara kontribusi laki-laki relatif stagnan.

Para ibu dalam studi tersebut mengurangi jam kerja berbayar untuk mengambil lebih banyak peran pengasuhan dan melaporkan tingkat kepuasan hidup yang lebih rendah.

“Kamu bangun, bersiap-siap, dan semua orang bergantung padamu, bukan pada ayahnya,” kata Remi, menggambarkan realitas yang ia alami.

Membuat Kerja Tak Terlihat Menjadi Nyata

Psikolog konseling Ishita Pateria di India mencoba menjembatani kesenjangan ini dengan pendekatan empati. Ia kerap meminta pasangan laki-laki mengambil alih seluruh pekerjaan rumah tangga selama satu bulan.

“Ini membantu mereka memahami besarnya beban kerja tersebut,” ujar Pateria. Menurutnya, banyak laki-laki mulai berkontribusi lebih setara setelah mengalami langsung kompleksitas pekerjaan domestik.

Pendekatan ini diperkuat oleh makalah diskusi yang diterbitkan pada 2025, yang menyoroti pentingnya membangun empati terhadap kerja domestik. Studi tersebut menemukan perempuan di Amerika Serikat dan Eropa secara konsisten memikul sebagian besar kerja mental rumah tangga, yang berkorelasi dengan tingkat stres lebih tinggi, kepuasan hidup lebih rendah, serta dampak negatif terhadap karier perempuan.

Tantangan Hubungan Modern

Dalam dua dekade terakhir, semakin banyak perempuan menjadi pencari nafkah setara atau bahkan utama. Namun, ekspektasi budaya belum sepenuhnya menyesuaikan perubahan tersebut.

“Ekspektasi patriarkal tentang ‘penghapusan diri’ masih kuat. Kita sering diajarkan untuk mencintai dengan mengorbankan diri sendiri,” ujar Annie. Ia menegaskan bahwa cinta seharusnya menjadi pilihan sadar, bukan kewajiban yang menguras diri.

Bagi para ahli, menciptakan hubungan yang sehat di era modern memerlukan pembagian tanggung jawab emosional dan domestik yang adil, komunikasi terbuka, serta batasan yang jelas. Upaya-upaya tersebut dinilai krusial untuk melindungi kesehatan mental perempuan sekaligus membangun hubungan yang lebih setara dan berkelanjutan. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait