
Jakarta, Nusantara Info: Krisis iklim kini menghadirkan ancaman kesehatan yang kian nyata di berbagai belahan dunia. Salah satu contohnya datang dari Islandia, di mana nyamuk untuk pertama kalinya ditemukan hidup di negara bersuhu dingin tersebut. Kondisi ini menjadi sebuah fenomena yang dikaitkan langsung dengan kenaikan suhu global.
Laporan ilmiah terbaru yang dirilis Lancet Countdown pada Rabu (29/10/2025) memperingatkan bahwa perubahan iklim telah mendorong risiko kesehatan manusia ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dari peningkatan serangan jantung akibat panas ekstrem hingga meluasnya penyakit tropis, dampak pemanasan global terhadap kesehatan kini semakin meluas.
“Evaluasi kesehatan tahun ini menggambarkan situasi suram yang tak terbantahkan, dengan dampak kesehatan yang menghancurkan terjadi di seluruh penjuru dunia,” ujar Marina Romanello, Direktur Eksekutif Lancet Countdown, lembaga riset independen yang berbasis di University College London (UCL).
Menurut analisis tersebut, kematian akibat panas meningkat 23 persen sejak 1990-an, dengan suhu tinggi menyebabkan lebih dari 500 ribu kematian setiap tahun. Asap kebakaran hutan dikaitkan dengan rekor 154 ribu kematian pada 2024, sementara polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil menewaskan 2,5 juta orang setiap tahun.
“Kita menyaksikan jutaan kematian yang sebenarnya bisa dihindari setiap tahun karena ketergantungan pada bahan bakar fosil, keterlambatan pengurangan emisi, dan lambannya adaptasi terhadap perubahan iklim,” tegas Romanello.
Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, dengan kadar karbon dioksida (CO₂) di atmosfer mencapai rekor tertinggi. Rata-rata setiap orang di dunia kini mengalami tambahan 16 hari panas ekstrem per tahun akibat perubahan iklim. Kelompok rentan seperti bayi dan lansia bahkan menghadapi 20 hari panas ekstrem tambahan.
Laporan tersebut mencatat bahwa 13 dari 20 indikator risiko kesehatan meningkat dalam satu tahun terakhir, menandakan hampir semua tren bergerak ke arah yang mengkhawatirkan.
Perubahan iklim turut memperparah cuaca ekstrem seperti gelombang panas, banjir besar, dan kekeringan yang berdampak pada kesehatan, pasokan air, serta ketahanan pangan.
Asap kebakaran hutan yang membakar area lebih luas dari India pada 2024, misalnya, dapat merusak paru-paru dan jantung, bahkan membahayakan janin dalam kandungan.
Selain menelan korban jiwa, dampak ini juga membawa kerugian ekonomi besar. Hanya dari gelombang panas, kerugiannya pada 2024 mencapai lebih dari satu triliun dolar AS, atau sekitar 1 persen dari output ekonomi global, akibat hilangnya produktivitas kerja.
Penyakit Tropis Menyebar ke Wilayah Dingin
Fenomena penemuan nyamuk di Islandia menjadi simbol bagaimana perubahan iklim memperluas habitat serangga pembawa penyakit. Kenaikan suhu membuka wilayah baru bagi nyamuk, kutu, dan lalat pasir yang dapat menularkan penyakit seperti demam berdarah, malaria, dan leishmaniasis.
Tahun 2024 mencatat rekor kasus demam berdarah global dengan lebih dari 7,6 juta infeksi. “Kita tahu bahwa perubahan iklim menjadi pemicu sebagian dari penyebaran itu,” ujar Romanello.
Potensi penularan demam berdarah secara global bahkan meningkat 49 persen sejak 1950-an.
Ancaman terhadap Kesehatan Mental
Selain penyakit fisik, perubahan iklim juga berdampak pada kesehatan mental.
“Bencana seperti kebakaran hutan, banjir, dan badai dapat menyebabkan gangguan stres pascatrauma,” jelas Jenni Miller, Direktur Eksekutif Global Climate and Health Alliance.
Gagal panen, kekeringan, dan hilangnya mata pencaharian juga dapat memicu kecemasan dan depresi. Sementara itu, malam yang terlalu panas memperburuk kualitas tidur dan berdampak pada kesehatan mental masyarakat.
Para ilmuwan menyerukan tiga langkah utama untuk meminimalkan dampak kesehatan akibat krisis iklim:
- Perluasan energi terbarukan untuk menekan kenaikan suhu global.
- Adaptasi infrastruktur dan lingkungan agar tahan terhadap cuaca ekstrem.
- Penguatan sistem layanan kesehatan global agar siap menghadapi tantangan baru akibat perubahan iklim.
Romanello menambahkan, penggunaan energi bersih antara 2010 hingga 2022 telah mencegah lebih dari 160 ribu kematian berkat berkurangnya polusi udara. Ia menegaskan bahwa tindakan cepat dan terkoordinasi secara global kini menjadi satu-satunya cara untuk melindungi generasi mendatang dari ancaman kesehatan yang kian parah akibat krisis iklim. (*)
 
									





