Jakarta (9/2/2021): Setiap tanggal 9 Februari diperingati Hari Pers Nasional. Bukan sekadar seremonial sebagai penanda hari pers tersebut, tetapi tak sedikit yang bernapak tilas jejak para tokoh pers nasional. Napak tilas untuk mengenang ketokohannya. Salah satu nama yang layak dikenang adalah Marco Kartodikromo.
Jurnalis ini dikenal sebagai tokoh pergerakan yang menghantam penjajah Belanda lewat tulisan-tulisannya. Jika sebelumnya tokoh pergerakan didominasi dari kalangan priyayi yang mempunyai akses pendidikan, munculnya Marco Kartodikromo atau kerap ditulis Mas Marco, membuka mata bahwa seorang bumiputera yang hanya tamat sekolah Ongko Loro atau setara dengan Sekolah Dasar (SD) bisa disegani sebagai tokoh pergerakan.
Peneliti Takhashi Siaraishi yang menyatakan Marco Kartodikromo lulus dari sekolah Bumi Putra angka dua Bojonegoro dan sekolah swasta bumiputra Belanda di Purworejo. Selepas sekolah ongko loro itu Mas Marco memulai pekerjaan pertamanya sebagai juru tulis di Dinas Kehutanan. Tidak lama kemudian, ia pindah ke Semarang dan menjadi juru tulis di NIS. Daya juangnya luar biasa. Ia pun cari guru privat untuk belajar bahasa Belanda.
Pada tahun 1911 Mas Marco menemukan dunia baru yang mengubah hidupnya. Dari juru tulis menjadi jurnalis. Ia meninggalkan Semarang menuju Bandung bergabung dengan surat kabar Medan Prijaji di bawah pimpinan Tirto Adisoerjo. “Dari Medan Prijaji inilah bekal awal ia mengasah diri sebagai seorang jurnalis,” kata Soebagyo I.N, dalam buku Jagad Wartawan Indonesia. Ia pun sempat berkarya di berbagai surat kabar yang pernah berdiri selain Doenia Bergerak seperti, Sarotomo, Pantjaran Warna, Sinar Hindia, Sinar Djawa, Hidoep dan Habromarkoto.
Setelah kematian Tirto Adhi Soerjo, Mas Marco pindah ke surat kabar lain bernama Darmo Kando pimpinan R. Martodharsono yang juga kawan kerjanya di Medan Prijaji. Hanya bertahan setahun, Marco pindah lagi mengikuti jurnalis Sosrokoernio yang masih anak didik Tirto itu ke surat kabar bernama Sarotomo pada tahun 1912 di Solo yang juga atas undangan Martodharsono (Shiraishi, 1997). Sarotomo tidak lain adalah surat kabar milik organisasi Sarekat Islam (SI) Solo. Surat kabar ini dicetak di Yogyakarta lewat percetakan bernama H. Buning.
Di Sarotomo, Marco pernah dengan berani menyebut bahwa Welvaart Comise (Komisi Kesejahteraan Hindia Belanda) yang dipimpin DR. Rinkes –penasihat Gubernur Jendral untuk urusan pribumi dan Islam tak sepantasnya mengurusi kesejahteraan bumiputera. Menurut Marco, pemerintah Hindia Belanda dengan segala perangkatnya lebih tepat dikatakan sebagai penghisap.
Sejak berani berpolemik dengan pejabat Belanda, Marco secara resmi menentukan sikapnya untuk menjadi seorang jurnalis yang melawan. Pada tahun 1914, Marco berinisiatif mendirikan Indlandsce Journlisten Bond (IJB), sebuah organisasi yang mewadahi para jurnalis bumiputera dan yang pertama. Marco sendiri menjabat sebagai pemimpin IJB dan menerbitkan surat kabar Doenia Bergerak di Semarang pada tahun yang sama sebagai alat pergerakan pers dari IJB. Marco menjadi pemimpin redakai Doenia Bergerak.
Penelitian seorang mahasiswa Universitas Brawijaya menyebutkan berdirinya organisasi ini memberikan tiga catatan karier bagi Marco. Pertama ia memimpin sebuah organisasi perkumpulan sebagai seorang jurnalis layaknya para rekan- rekan jurnalis bumiputera yang juga aktif di organisasi pergerakan. Kedua, Marco sekaligus mendirikan sebuah surat kabar sendiri bernama Doenia Bergerak pada 31 Januari 1914 dan menjabat sebagai pemimpin redaksi. Dan ketiga, Marco berhasil mendirikan sebuah persatuan dan perkumpulan para jurnalis bumiputera pertama di Hindia Belanda.
Doenia Bergerak sebagai corong propaganda menyuarakan kritik dan narasi perlawanan kepada pemerintah Belanda. Mas Marco jadi incaran Belanda. Tak heran selama kurun waktu 1915 hingga 1920 ia masuk penjara di Semarang dari Juli 1915 sampai Maret 1916, kemudian setelah singgah lima bulan di Belanda, ia masuk penjara lagi di Weltevreden, dari Februari 17 sampai Februari 1918.
Karier jurnalistik Mas Marco resmi ditinggalkannya ketika masih mengurus majalah Hidoep di Surakarta. Mas Marco memilih untuk aktif dalam organisasi pergerakan Sarekat Rakyat (SR). SR ini pada akhirnya bersama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) turut pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda pada 1926. Peristiwa ini harus dibayar mahal oleh Marco Kartodikromo dan tokoh pergerakan lainnya. Mereka dibuang ke Boven Digoel di Papua.
Marco Kartodikromo tiba di Boven Digoel pada 21 Juni 1927. Ditempatkan di Tanah Tinggi, kamp yang ganas. Hutan belantara yang dipisahkan Sungai Digoel penuh buaya. Tokoh-tokoh Boven yang dinilai masih keras kepala ditempatkan di daerah Tanah Tinggi. Pemerintah kolonial menamakan mereka sebagai kelompok naturalis, yaitu kelompok yang dinilai berhaluan keras dan menolak kerja sama dengan pemerintah Belanda. Mereka di Tanah Tinggi artinya dimatikan aksesnya. Mereka adalah para tokoh komunis yang terlibat pemberontakan 1926 dan 1927 seperti, Aliarcham, Sardjono, Ngadiman, dan Winanta (Suwardi, 2003, h. 81). Meskipun berada di pengasingan yang jauh dari dunia pergerakan dan lingkungan keramaian, Marco tetap giat mencatat dan menulis segala kejadian sehari- hari di pengasingan. Tulisan Marco dibuat bersambung dimulai tanggal 10 Oktober sampai 9 Desember 1931 dan semuanya dimuat oleh surat kabar Pewarta Deli.
Pada 19 Maret 1932 Marco Kartodikromo menghembuskan nafas terakhir dan dikebumikan di Tanah Tinggi, Boven Digoel termasuk Aliarcham. Marco Kartodikromo lahir di Cepu, Blora yang masuk dalam karesidenan Rembang, Jawa Tengah antara tahun 1889 dan 1890. Memiliki nama lahir Seomarko Kartodikromo.
Kondisi makam mereka sampai dengan hari terakhir penutupan kamp masih terawat dengan baik di Tanah Tinggi, sekitar 40 kilometer di atas Tanah Merah. Inilah ibu kota Boven Digoel sekarang ini. Ikon paling mudah dikenal adalah Bandara Tanah Merah.
Makam Mas Marco nan sunyi berjarak sekira 40 km dari bandara yang sibuk. Kesibukan karena bandara itu merupakan hub untuk penerbangan kargo. Dari Bandara Tanah Merah itulah dikirim kebutuhan pokok ke pelosok Papua. (**)