Meteorolog AS Mundur Usai Terima Ancaman Pembunuhan: Bukti Kerasnya Perang Misinformasi Iklim

Bagikan

Meteorolog AS Mundur Usai Terima Ancaman Pembunuhan: Bukti Kerasnya Perang Misinformasi Iklim
Meteorolog AS Chris Gloninger (Foto: Istimewa)

Jakarta, Nusantara Info: E-mail berisi ancaman pembunuhan mengakhiri karier seorang meteorologis terkemuka di Amerika Serikat (AS), Chris Gloninger. Kasus ini menjadi sorotan pakar komunikasi sains karena menunjukkan bagaimana perang misinformasi dan penyangkalan perubahan iklim kini menyasar pembawa acara prakiraan cuaca di televisi.

Gloninger, yang dikenal sebagai kepala meteorologi di Des Moines, Iowa, mengaku menerima pesan bernada ancaman dari penonton yang bahkan menanyakan alamat rumahnya. “Jantung saya berdegup kencang dan saya merasa lumpuh,” kenangnya. Ia dan istrinya sempat dievakuasi ke hotel setelah menghubungi polisi.

Sebagai jurnalis sains, Gloninger aktif mengangkat isu perubahan iklim di program cuaca televisi. Ia berupaya menjelaskan dampak kekeringan, banjir, dan cuaca ekstrem dengan bahasa sederhana. Namun upaya ini justru memicu kebencian sebagian penonton yang memandang sains iklim sebagai agenda politik.

“Padahal ini tak seharusnya tentang politik, karena ini adalah sains yang didukung 99% komunitas akademik,” ujarnya.

Misinformasi Iklim: Dari Penyangkalan hingga Teori Konspirasi

Meski konsensus ilmiah sudah jelas, misinformasi dan teori konspirasi terkait iklim terus berkembang di media sosial. Pakar menyebut fenomena ini berakar sejak 1960-an, ketika perusahaan energi mengetahui pembakaran batu bara dan minyak memanaskan bumi, tetapi memilih menyangkal. Kini lahirlah bentuk baru: penundaan aksi iklim atau “delayism” serta pencitraan palsu ramah lingkungan (greenwashing).

Peneliti Ece Elbeyi dari Universitas Kopenhagen menjelaskan bahwa jaringan misinformasi melibatkan pelobi, media partisan, troll internet, hingga bot asing yang memperbesar pesan di platform digital.

“Mereka membingkai solusi iklim sebagai ancaman terhadap kedaulatan nasional atau kebebasan ekonomi,” kata Elbeyi.

Daniel Jolley, profesor psikologi dari Universitas Nottingham, menambahkan bahwa teori konspirasi memberi rasa nyaman bagi sebagian orang yang merasa terancam oleh bencana atau ketidakpastian. Meteorolog menjadi sasaran karena dianggap komunikator utama sains iklim.

Baca Juga :  Eks CEO Goto Andre Soelistyo Diperiksa Kejagung Terkait Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Laptop Chromebook

Setelah menerima ancaman pembunuhan, Gloninger didiagnosis mengalami PTSD (gangguan stres pascatrauma) akibat tekanan psikologis. Meski pelaku ancaman ditangkap polisi, ia hanya dikenai denda USD150. Tekanan publik juga membuat stasiun TV meminta Gloninger berhenti membahas isu iklim.

Alih-alih tunduk, Gloninger memilih mundur. “Saya justru mendorong para meteorolog untuk melipatgandakan usaha mereka,” katanya, seraya menegaskan bahwa mundur karena kebencian daring adalah kesalahan besar.

Para pakar menekankan pentingnya edukasi publik, literasi digital, dan dukungan psikologis bagi jurnalis sains. Mereka juga menilai penting untuk membangun kepercayaan dan empati kepada masyarakat yang masih skeptis, agar misinformasi bisa dipatahkan tanpa menambah polarisasi.

Kasus Chris Gloninger menjadi cermin kerasnya medan tempur komunikasi iklim di era digital. Ketika misinformasi semakin masif, meteorolog, ilmuwan, dan jurnalis sains membutuhkan perlindungan ekstra agar tetap bisa menyampaikan fakta. Tanpa itu, publik berisiko kehilangan akses pada informasi yang benar di tengah krisis iklim yang kian nyata. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait