Musala Ponpes Al Khoziny Ambruk, Nyawa Santri Melayang: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Bagikan

Musala Ponpes Al-Khoziny Ambruk, Nyawa Santri Melayang: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Musala Ponpes Al-Khoziny Ambruk. (Foto: Istimewa)

Sidoarjo, Nusantara Info: Ketenangan sore di Pondok Pesantren (Ponpse) Al-Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, mendadak berubah menjadi kepanikan. Sekitar pukul 15.00 WIB pada Senin (29/9/2025), bangunan musala tiga lantai tiba-tiba ambruk ketika ratusan santri tengah melaksanakan salat asar berjamaah.

Bangunan itu runtuh hingga ke lantai dasar. Dugaan sementara, pondasi dan struktur atap tidak mampu menahan beban cor-coran yang sedang dikerjakan di bagian atas. Akibatnya, lima santri meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka.

Tragedi memilukan ini bukan kasus tunggal. Ia membuka kembali luka lama tentang rapuhnya infrastruktur pesantren di Indonesia, sebuah lembaga pendidikan berbasis masyarakat yang justru menjadi tulang punggung pembentukan moral dan karakter bangsa.

Minimnya Alokasi Dana dan Lemahnya Dukungan Negara

Menurut data Kementerian Agama (Kemenag), Indonesia memiliki lebih dari 42 ribu pesantren. Namun, hanya sebagian kecil yang mendapatkan bantuan pembangunan fasilitas dari pemerintah.

“Alokasi bantuan sarana dan prasarana tidak seberapa. Tahun ini saja tidak sampai 100 pesantren yang mendapatkannya,” ungkap Direktur Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Kemenag, Basnang Said.

Basnang mengakui keterbatasan anggaran membatasi ruang gerak pemerintah. Ia berharap pesantren bisa mendapat porsi dana lebih besar karena pembangunan infrastruktur tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada Kemenag. Akibatnya, mayoritas pesantren bergantung pada dana swadaya masyarakat, infak, dan sumbangan donatur.

Ketua Yayasan Pondok Pesantren Mazro’atul Ulum Purworejo, Muhammad Arrofiq menyebut bahwa bantuan pemerintah bersifat stimulan, tidak mampu menutup seluruh biaya pembangunan.

“Kalau kebutuhan pembangunan ratusan juta, bantuan yang turun paling hanya 20 persennya. Selebihnya harus kami cari sendiri,” ujarnya.

Keterbatasan kuota bantuan membuat banyak pesantren tidak terakomodasi. “Proposal banyak yang tidak tembus karena kuota terbatas. Padahal, pengajuan datang dari ribuan pesantren di seluruh Indonesia,” ungkap Arrofiq.

Pesantren Swasta: Penopang Pendidikan yang Dipandang Sebelah Mata

Menurut laporan Centre for Indonesian Policy Studies (CIPS), dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hanya menutupi sekitar 7 persen kebutuhan pesantren. Sisanya ditanggung santri, wali santri, dan pengasuh pondok.

Kondisi ini menciptakan kesenjangan antara pesantren besar dan kecil. Pesantren mapan masih bisa mengandalkan iuran lebih tinggi, sedangkan pesantren kecil harus bertahan dengan fasilitas seadanya.

Baca Juga :  Kemendagri Apresiasi Pemprov Sumatera Utara Gelar Lomba Inovasi Perangkat Daerah dan Kabupaten/Kota

“Banyak pesantren kecil membangun dengan bahan murah, yang penting berdiri. Karena kalau menunggu bantuan pemerintah, ya tidak akan selesai,” kata Arrofiq.

Koordinator Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menyebut pemerintah masih memandang pesantren swasta sebagai anak tiri dalam sistem pendidikan nasional.

“Lembaga pendidikan swasta, apalagi pesantren, sering tidak dihitung dalam prioritas negara. Padahal mereka mendidik jutaan anak bangsa,” tegasnya.

Standar Bangunan Minim Pengawasan

Dari sisi regulasi, UU Nomor 28 Tahun 2002 dan PP Nomor 36 Tahun 2005 sebenarnya mengatur kewajiban bangunan memenuhi standar keselamatan dan ketahanan struktur. Namun, implementasi di lapangan lemah.

Basnang Said mengakui, Kemenag tidak memiliki mekanisme pengawasan teknis yang ketat. “Kami tidak sampai mengecek apakah pembangunan sesuai standar, karena tanggung jawabnya kami serahkan kepada pengasuh pesantren,” terangnya.

Arrofiq menambahkan, pengawasan biasanya hanya dilakukan jika bangunan dibiayai oleh negara.  “Kalau bangunannya dari swadaya, pengawasannya internal pesantren saja,” katanya.

Kondisi ini membuat hak dasar santri atas ruang belajar yang aman kerap diabaikan. Menurut Ubaid Matraji, akar masalah bukan hanya soal dana, tetapi kurangnya kemauan politik (political will).

“Pemerintah seolah tidak punya prioritas untuk pesantren. Padahal, pendidikan pesantren bagian dari sistem pendidikan nasional,” jelasnya.

Evaluasi Nasional yang Mendesak

Tragedi ambruknya musala Al-Khoziny harus menjadi momentum refleksi nasional. Negara tidak bisa terus membiarkan ribuan pesantren bertahan dengan infrastruktur rapuh dan bantuan minim.

Ubaid Matraji mendesak Kemenag agar menyampaikan data rinci kepada Kementerian Keuangan dan Presiden agar pesantren memperoleh alokasi lebih besar dalam RAPBN.

“Soal anggaran, kita punya. Masalahnya hanya di kemauan politik,” tegasnya.

Sementara itu, Muhammad Arrofiq mengingatkan, tanpa dukungan konkret, pesantren kecil akan terus tertinggal.

“Kalau hanya mengandalkan swadaya, mereka tidak akan pernah bisa memenuhi kebutuhan infrastruktur yang layak,” tuturnya.

Selama perhatian pemerintah belum berpihak dan mekanisme pengawasan tak diperkuat, maka hak jutaan santri untuk belajar di tempat yang aman akan terus menjadi korban dari abainya sistem pendidikan nasional. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait