“…. Saya ingin melihat kaum inteligensia Indonesia menunjukkan tanggung jawab moralnya terhadap usaha-usaha pembangunan negara dan masyarakat kita. Dengan berpedoman kepada cinta akan kebenaran, yang menjadi sifat bagi orang berilmu”, kata Bung Hatta.
Jakarta (9/2/2023): Kutipan di atas dicuplik dari pidato Mohammad Hatta di kampus Universitas Indonesia, 11 Juni 1957 di hadapan alumni “kampus jaket kuning” yang saat itu jumlahnya tidak seperti saat ini. Dari pidato yang diberi judul “Tanggung Djawab Moril Kaum Inteligensia” itu, Bung Hatta memiliki harapan pada kehadiran kaum cerdik cendikia untuk terlibat dalam proses pembangunan Indonesia yang utuh.
Sebagai organisasi cendiakawan berbasis agama, kehadiran Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) sejatinya untuk memastikan peran kaum cerdik pandai Kristen di Indonesia dalam perjalanan peradaban bangsa.
Hal ini disampaikan Ketua Umum PIKI, Badikenita Putri Sitepu saat wawancara dalam rangka Dies Natalis PIKI ke-60 di Jakarta.
PIKI, menurut Badikenita Puteri, memberikan perhatian pada kondisi pemerintahan, kesejahteraan masyarakat, pendidikan dan kebangsaan. “PIKI merupakan organisasi kemasyarakatan bagi kaum inteligensia Kristen di Indonesia,” tegasnya. Pemastian peran ini sangat penting sebagai tanggung jawab kelompok yang integral dari Indonesia.
Indonesia memiliki potensi besar sebagai negara kepulauan dengan beragam suku dan budaya serta sumber daya alam berlimpah. Kekayaan ini menjadi modal yang sudah dimiliki untuk menjadi negara besar.
“Kita hanya bisa mewujudkan cita-cita dan gagasan besar itu bila mendapat dukungan SDM yang berkualitas,” ujar Badikenita Putri.
Dalam sejarahnya, PIKI lahir dari pergumulan akan situasi kebangsaan dari sebuah negara yang baru merdeka dan membutuhkan gagasan tentang sebuah bangsa besar. Sejumlah kaum inteligensia Kristen antara lain Johannes Leimena, Tuan Sutan Gunung Mulia, Manasse Malo, dan Pontas Nasution berkumpul pada 19 Desember 1963 di sekretariat Universitas Kristen Indonesia jalan Diponegoro, Jakarta Pusat mendeklarasikan lahirnya PIKI. Walaupun kemudian organisasi baru ini mengalami masa surut setelah kongres pertama Agustus 1965 seiring dinamika kebangsaan hingga “dilahirkan kembali” pada Juni 1987.
Sejumlah karya besar telah dilahirkan, antara lain Universitas Kristen Maranatha di Bandung yang didirikan PIKI bersama Sinode Gereja Kristen Indonesia, Sinode Gereja Kristen Pasundan, Dewan Gereja Indonesia (sekarang PGI), Yayasan Pendidikan Kristen, dan beberapa yang lain termasuk perseorangan. Selain di Bandung, PIKI bersama Sinode Gereja di Makasar juga mendirikan Universitas Kristen Indonesia Paulus. PIKI juga berhasil melahirkan sejumlah pemikir dan tokoh yang memiliki banyak peran pada perjalanan Indonesia. Dan yang tidak kalah penting peran PIKI menjaga keutuhan Indonesia sebagai bangsa yang majemuk.
“Kami bertanggung jawab melanjutkan kerja besar pada pendahulu sebagai tanggung jawab atas kelangsungan bangsa ini,” tegas Badikenita Putri. Bagaimanapun, lanjutnya, ini adalah panggilan dan tanggung jawab iman sebagai Kristen.
PIKI secara rutin berkumpul saling berbagi informasi dan bertukar pikiran melakukan kajian tentang situasi kebangsaan, ekonomi, politik, hukum, budaya dan sebagainya untuk diteruskan kpada pengambil kebijakan.
“Seperti saat ini kami bersama Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama, Ikatan Sarjana Katolik, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, Keluarga Cendikiawan Buddhis Indonesia, Ikatan Cendikiawan Hindu Indonesia berkumpul saling berbagi informasi dan bertukar pikiran tentang situasi ini terutama menghadapi tahun politik,” pungkas Badikenita Putri. (*)