Jakarta, Nusantara Info: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi memberikan persetujuan atas permintaan Presiden Prabowo Subianto terkait pemberian abolisi dan amnesti kepada eks Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. Keputusan ini diambil dalam rapat konsultasi yang digelar pada Kamis (31/7/2025), dan menghadirkan perwakilan pemerintah serta pimpinan Komisi III DPR.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa rapat konsultasi telah menghasilkan kesepakatan dan persetujuan legislatif atas surat Presiden bernomor R 42/Pers/VII/2025 yang diajukan sehari sebelumnya.
“DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap permintaan Presiden, termasuk pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti bagi 1.116 orang, di antaranya Saudara Hasto Kristiyanto,” ujar Dasco di Kompleks Parlemen Senayan.
Figur Sentral di Balik Amnesti dan Abolisi
Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan era Presiden Jokowi periode pertama, menjadi sorotan publik setelah namanya masuk dalam surat abolisi. Meski rincian kasus hukum yang menjeratnya belum diungkap secara terbuka, pemberian abolisi mengindikasikan bahwa proses hukum yang berjalan terhadapnya dihentikan atas pertimbangan Presiden dan telah disetujui DPR.
Lebih kontroversial lagi adalah amnesti terhadap Hasto Kristiyanto, salah satu tokoh utama partai penguasa. Hasto merupakan salah satu dari 1.116 orang yang diajukan untuk mendapat amnesti. Publik mempertanyakan urgensi dan motif di balik kebijakan ini, mengingat posisi strategis Hasto dalam peta politik nasional menjelang tahun-tahun krusial menuju Pemilu 2029.
Pertanyaan Publik dan Transparansi
Pemberian abolisi dan amnesti secara massal, apalagi melibatkan tokoh politik berpengaruh, menimbulkan pertanyaan besar soal akuntabilitas, keadilan hukum, dan independensi lembaga negara. Belum ada penjelasan rinci dari pemerintah atau DPR mengenai kriteria 1.116 orang yang menerima amnesti.
Pengamat hukum tata negara menilai, meski abolisi dan amnesti merupakan hak prerogatif Presiden yang dilandasi konstitusi, transparansi dan penjelasan publik sangat penting agar tidak menimbulkan kecurigaan politisasi hukum.
Langkah ini dinilai sebagian pihak sebagai bagian dari strategi pemulihan politik dan rekonsiliasi nasional. Namun sebagian lainnya justru melihatnya sebagai sinyal lemahnya supremasi hukum di Indonesia, ketika proses hukum dapat dihentikan atau dibatalkan melalui jalur politik.
Rapat yang juga dihadiri oleh Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas serta pimpinan Komisi III DPR ini belum mempublikasikan secara terbuka daftar lengkap penerima amnesti dan alasan di balik pengampunan tersebut.
Publik kini menanti apakah kebijakan ini menjadi babak baru dalam penguatan rekonsiliasi politik atau justru memperdalam jurang ketidakpercayaan terhadap sistem hukum dan demokrasi di tanah air. (*)