
Jakarta, Nusantara Info: Sekitar 520 juta anak di seluruh dunia hidup di wilayah konflik pada tahun 2024, atau setara satu dari lima anak di planet ini. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak 2005, menurut laporan terbaru organisasi kemanusiaan Save the Children yang dirilis Selasa (4/11/2025).
Laporan itu menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 47 juta anak dibandingkan tahun sebelumnya, menandai rekor baru dalam hampir dua dekade terakhir.
“Angka ini menggambarkan betapa berbahayanya situasi bagi anak-anak di dunia saat ini,” kata Florian Westphal, Direktur Save the Children Jerman.
“Dan kami percaya, data sebenarnya bisa jauh lebih tinggi karena banyak kasus yang tidak tercatat,” tambahnya.
Menurut laporan tersebut, seseorang dikategorikan hidup di zona konflik jika tinggal dalam jarak 50 kilometer dari lokasi pertukaran senjata aktif di negara yang sama, atau di wilayah yang mengalami konflik bersenjata yang telah menelan sedikitnya 25 korban jiwa dalam satu tahun.
Save the Children mencatat bahwa 11% dari seluruh daratan bumi kini masuk kategori zona konflik, meningkat hampir sepertiga dibandingkan tahun 2023, ini merupakan angka tertinggi sejak pencatatan dimulai.
Lebih dari 40.000 Pelanggaran Berat Terhadap Anak
Data PBB yang dikutip dalam laporan itu menunjukkan adanya 41.763 pelanggaran berat terhadap anak-anak di seluruh dunia sepanjang 2024, meningkat sekitar 30% dari tahun sebelumnya.
Lebih dari separuh pelanggaran itu terjadi di empat wilayah paling berbahaya bagi anak-anak, yaitu Palestina, Republik Demokratik Kongo, Nigeria, dan Somalia.
Save the Children menegaskan, angka tersebut hanyalah “puncak dari gunung es” karena sebagian besar kekerasan terhadap anak di zona konflik tidak pernah dilaporkan atau diverifikasi.
Wilayah Afrika menjadi kawasan dengan jumlah anak terbanyak yang hidup di zona konflik, yakni mencapai 218 juta anak. Angka itu setara dengan 32,6% dari total populasi anak di benua tersebut, sehingga menjadikannya kawasan dengan risiko tertinggi di dunia.
Menariknya, tahun 2024 menjadi pertama kalinya anak-anak di Afrika secara statistik lebih berisiko terpapar konflik bersenjata dibanding anak-anak di Timur Tengah, meski perang di Gaza masih menyumbang seperempat dari seluruh pelanggaran serius terhadap anak-anak.
Secara global, Save the Children mencatat 61 konflik berskala negara yang berlangsung sepanjang 2024, jumlah tertinggi sejak 1946.
Peningkatan Kasus Penculikan dan Kekerasan Seksual
Save the Children juga menyoroti meningkatnya kasus penculikan dan kekerasan seksual terhadap anak di wilayah konflik.
“Anak-anak dari negara-negara Afrika secara tidak proporsional menjadi korban penculikan, mencakup 86% dari seluruh kasus yang diverifikasi tahun 2024,” bunyi laporan tersebut.
Nigeria, Somalia, dan Republik Demokratik Kongo mencatat kasus penculikan tertinggi, masing-masing 991, 887, dan 815 kasus.
Sementara itu, kasus kekerasan seksual terhadap anak di zona konflik hampir dua kali lipat dalam satu dekade terakhir dari sedikit di atas 1.000 kasus pada 2015 menjadi 1.982 kasus pada 2024.
Sebanyak 87% dari kasus tersebut terjadi hanya di lima wilayah konflik utama: Haiti, Nigeria, Republik Demokratik Kongo, Somalia, dan Republik Afrika Tengah.
Laporan itu menambahkan, kekerasan seksual terhadap anak-anak laki-laki sangat jarang dilaporkan karena stigma sosial, dan di sepuluh negara konflik bahkan tidak ada satu pun kasus yang diverifikasi secara resmi.
Untuk tahun keempat berturut-turut, Save the Children mencatat peningkatan serangan terhadap sekolah dan rumah sakit, serta penggunaan fasilitas tersebut untuk kepentingan militer.
Sepertiga dari seluruh insiden tercatat terjadi di Ukraina, dengan 1.981 serangan terhadap sekolah sejak invasi Rusia pada 2022.
“Kami juga melihat jumlah serangan yang mengkhawatirkan terhadap sekolah dan rumah sakit di Palestina, Myanmar, dan Haiti,” ujar organisasi itu dalam laporan resminya.
Seruan untuk Perlindungan Anak Global
Save the Children menyerukan kepada pemerintah dan lembaga internasional untuk meningkatkan perlindungan terhadap anak-anak di wilayah konflik, memperkuat sistem pendidikan darurat, serta memastikan akses bantuan kemanusiaan tanpa hambatan.
“Anak-anak tidak boleh menjadi korban perang yang mereka tidak ciptakan,” tegas Westphal.
“Dunia harus bertindak sekarang sebelum generasi masa depan hilang di tengah kekerasan yang tak berkesudahan,” pungkasnya. (*)






