Sidang Umum PBB ke-80: Tantangan Berat di Tengah Krisis Global dan Seruan Reformasi

Bagikan

Sidang Umum PBB ke-80: Tantangan Berat di Tengah Krisis Global dan Seruan Reformasi
Sekjen PBB Antonio Guterres pimpin Sidang Umum. (Foto: Istimewa)

New York, Nusantara Info: Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) menginjak usia ke-80 pada pekan ini. Para pemimpin dunia berkumpul di Markas Besar PBB, New York, untuk memperingati tonggak sejarah tersebut. Namun alih-alih perayaan meriah, suasana UNGA tahun ini justru diwarnai ketegangan geopolitik, krisis iklim yang kian mendesak, dan tantangan serius terhadap tatanan global berbasis hukum.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengingatkan pentingnya peran PBB di tengah situasi dunia yang semakin kompleks.

“Tidak ada negara yang bisa menghentikan pandemi sendirian. Tidak ada pasukan yang bisa menghentikan suhu bumi yang terus meningkat,” tegasnya dalam pidato di Sidang Umum PBB, Selasa (23/9/2025).

Peran dan Keterbatasan Sidang Umum PBB

Sebagai salah satu dari enam organ utama PBB, Sidang Umum berfungsi sebagai forum bagi negara-negara anggota untuk merumuskan kebijakan dan mengeluarkan rekomendasi melalui resolusi.

Namun sifat resolusi ini hanya berupa pernyataan niat dan tidak mengikat secara hukum internasional.

“Kami tidak dapat memberi hadiah ataupun hukuman,” ujar Guterres menanggapi keterbatasan mandat PBB.

“Dan karena kami tidak punya insentif atau sanksi, sangat sulit menyadarkan pelaku konflik tentang pentingnya mencapai perdamaian,” sambungnya.

Perpecahan di Dewan Keamanan PBB

Dewan Keamanan (DK) PBB, yang bertanggung jawab menjaga perdamaian dan keamanan internasional, kini menghadapi kritik tajam. Lima anggota tetap dengan hak veto, yakni Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, dan Prancis dinilai kerap memblokir resolusi penting demi kepentingan nasional mereka.

Hak veto AS atas resolusi gencatan senjata di Gaza dan veto Rusia atas resolusi perang Ukraina menjadi contoh terbaru kebuntuan tersebut. Kondisi ini memperkuat pandangan bahwa Dewan Keamanan sudah tidak lagi relevan dan representatif, khususnya bagi negara-negara Afrika dan Amerika Selatan yang tak memiliki kursi tetap.

“Benturan geopolitik antara AS, Cina, dan Rusia membuat Dewan Keamanan hampir tak mampu merespons konflik-konflik terburuk dunia,” kata Daniel Forti, analis senior International Crisis Group. “Ini merusak kredibilitas DK sekaligus PBB,” tambahnya.

Baca Juga :  Kisah Haru Berakhir: “Pangeran Tidur” Arab Saudi Wafat Setelah 20 Tahun Koma

Krisis Pendanaan dan Dominasi AS

Pendanaan PBB sebagian besar bergantung pada kontribusi wajib dan sukarela negara anggota. Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menarik diri dari sejumlah program PBB, termasuk WHO, meninggalkan lubang besar dalam anggaran organisasi ini.

Awal bulan ini, Guterres mengumumkan rencana pemotongan anggaran sebesar USD 500 juta (sekitar Rp8,3 triliun), atau sekitar 15% dari total anggaran pokok PBB. Dampaknya, berbagai inisiatif penting seperti Program Pangan Dunia (WFP), UNHCR, hingga WHO kini menghadapi ketidakpastian pendanaan.

“Tidak ada negara lain yang menutup kesenjangan dana dukungan AS,” kata Forti. “Ini berarti lebih sedikit kampanye vaksinasi, lebih sedikit inisiatif pendidikan, dan lebih sedikit dukungan bagi pengungsi,” sambungnya.

Seruan Reformasi Menggema

Desakan reformasi PBB semakin kencang. Presiden Irlandia Michael D. Higgins menyerukan agar PBB “dirancang ulang untuk masa depan” dengan memberi peran lebih bagi Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Bahkan Trump dalam pidatonya di Sidang Umum pekan ini mengatakan PBB “belum memenuhi potensinya.”

Forti menilai reformasi PBB mungkin saja terjadi meski tidak mudah. “Organisasi ini bisa direformasi. Tapi itu akan menjadi jalan yang sulit dan memakan waktu. Reformasi serius mungkin menyakitkan bagi negara-negara yang bergantung pada PBB,” ujarnya.

Menurutnya, membawa PBB ke era baru membutuhkan visi reformasi yang jelas dari Sekretaris Jenderal berikutnya serta dukungan diplomatik besar dari negara-negara anggota.

“Organisasi ini telah melewati masa sulit sebelumnya. Negara-negara harus membuktikan mengapa PBB penting bagi mereka,” tegasnya.

Sidang Umum PBB ke-80 ini menjadi momentum bagi dunia untuk mengevaluasi peran organisasi internasional terbesar tersebut. Dengan tantangan global yang semakin kompleks, PBB menghadapi tekanan untuk bertransformasi menjadi lembaga yang lebih relevan, efektif, dan representatif. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait