Soemitro Djojohadikusumo: Begawan Ekonomi Indonesia dan Pelopor Sumitronomics

Bagikan

Soemitro Djojohadikusumo: Begawan Ekonomi Indonesia dan Pelopor Sumitronomics
Soemitro Djojohadikusumo: Sang Begawan Ekonomi Indonesia. (Foto: Wikipedia)

Jakarta, Nusantara Info: Di balik perjalanan panjang ekonomi Indonesia, nama Soemitro Djojohadikusumo (1917–2001) berdiri tegak sebagai salah satu pilar utama yang membentuk arah pembangunan nasional.

Dikenal sebagai Begawan Ekonomi Indonesia, Soemitro bukan sekadar akademisi atau birokrat, melainkan seorang pemikir besar yang menjadikan ilmu ekonomi sebagai alat perjuangan bangsa.

Lahir pada 29 Mei 1917 di Kebumen, Jawa Tengah, Soemitro tumbuh di lingkungan keluarga intelektual. Ayahnya, Margono Djojohadikusumo, adalah pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) dan tokoh pergerakan nasional.

Sejak kecil, Soemitro terbiasa mendengar percakapan mendalam seputar kondisi sosial bangsa. Pertanyaan yang terus mengusik pikirannya sejak remaja adalah sederhana tapi tajam:
“Mengapa rakyat Indonesia miskin di negeri yang begitu kaya?”

Pencarian jawabannya membawanya jauh ke Eropa. Ia menempuh pendidikan hingga meraih gelar doktor di Nederlandse Economische Hogeschool, Rotterdam, Belanda (kini Erasmus Universiteit).

Di tengah perang dunia, ia aktif dalam gerakan bawah tanah anti-Nazi, menunjukkan keberaniannya melawan ketidakadilan bahkan di negeri orang.

Usai menyelesaikan pendidikan, Soemitro kembali ke tanah air dengan satu tekad:

“Ilmu pengetahuan tidak bermanfaat jika tidak digunakan untuk meningkatkan martabat bangsa sendiri.”

Prinsip itu menjadi fondasi hidupnya. Ia mendirikan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) pada tahun 1950, mencetak generasi ekonom muda yang kelak dikenal sebagai Mafia Berkeley, kelompok intelektual yang menjadi tulang punggung kebijakan ekonomi Indonesia di masa Orde Baru.

Konsep “Sumitronomics” dan Visi Pembangunan

Soemitro tidak sekadar mempelajari teori ekonomi; ia menciptakan konsepnya sendiri yang disebut Sumitronomics, terdiri dari tiga pilar:

  1. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
  2. Pemerataan manfaat pembangunan.
  3. Stabilitas nasional yang dinamis.

Pemikiran ini mencerminkan keseimbangan antara pertumbuhan dan keadilan sosial, jauh sebelum istilah “pembangunan berkelanjutan” menjadi populer.

Baca Juga :  Kamerun Dicabut dari Daftar Calling Visa, Dirjen Imigrasi: Ada Pertimbangan Ekonomi dan Keamanan

Sebagai menteri di berbagai kabinet, mulai dari Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Industri, hingga Menteri Riset, Soemitro selalu berpegang pada prinsip integritas dan rasionalitas.

Ia menolak praktik rente dan korupsi yang merugikan bangsa. Dalam masa-masa politik yang penuh gejolak, ia berani bersuara, bahkan ketika harus berhadapan langsung dengan kekuasaan.

Antara Idealisme dan Kontroversi

Namun, perjalanan hidup Soemitro tidak selalu mulus. Idealismenya sering bertumbukan dengan realitas politik.

Sebagai kader Partai Sosialis Indonesia (PSI), ia sempat terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), keputusan yang memaksanya hidup di pengasingan selama bertahun-tahun. Tapi justru di masa sulit itu, karakter sejatinya sebagai pejuang bangsa semakin menonjol.

Kembali ke tanah air, Soemitro tetap berkontribusi besar dalam membangun pondasi ekonomi nasional. Ia adalah contoh nyata teknokrat yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berintegritas dan berpihak kepada rakyat kecil.

Warisan Sang Begawan

Soemitro Djojohadikusumo meninggal dunia pada 9 Maret 2001 dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat.

Namun, warisannya tidak pernah pudar. Ia meninggalkan lebih dari sekadar teori ekonomi, ia meninggalkan cara berpikir, moralitas intelektual, dan teladan pengabdian.

Melalui anak-anaknya, termasuk Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia ke-8, serta Hashim Djojohadikusumo, semangat nasionalisme dan dedikasi terhadap bangsa tetap hidup.

Kisah hidup Soemitro adalah pengingat bahwa membangun bangsa bukan hanya soal kekuasaan atau kebijakan, tetapi tentang keberanian mempertahankan idealisme di tengah godaan pragmatisme. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait