Jakarta, Nusantara Info: Forum Aspirasi Konstitusi MPR RI menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Yayasan Jimly School of Law dan mahasiswa lintas kampus di Gedung Nusantara IV Jakarta, pada Kamis (12/9/2024).
Hadir sebagai Narasumber dalam acara tersebut yakni Ketua MPR RI ke-16 Bambang Soesatyo (Bamsoet) dan Ketua Forum Aspirasi Konstitusi/Anggota MPR/DPD RI Jimly Ashiddiqie. Acara ini juga turut dihadiri para pakar dan intelektual seperti Ketua PSP UGM Sudjito, tokoh masyarakat Ahmad Safii Maarif, Guru Besar Ilmu Filsafat Kaelan, Sosiolog UGM Sunyoto Usman, Ketua Yayasan Jimly School of Law and Government Muzayyin Machbub, Budiman Tanuredjo serta Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.
Ketua MPR RI ke-16, Bamsoet mengatakan bahwa Sarasehan Kebangsaan “Mewujudkan UUD Berdasar Pancasila” yang digagas Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM pada tahun 2014 lalu, menilai bahwa UUD NRI 1945 yang mengalami amandemen empat kali tidak berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Karena ditemukan inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antar pasal dan ayat dalam berbagai perubahan konstitusi tersebut.
“Adanya pergeseran dari sistem keterwakilan ke sistem keterpilihan inilah yang menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan negara terjebak pada kekuasaan oligarki. Praktik penyelenggaraan memang sudah lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum, namun mengabaikan pembangunan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama,” ujarnya.
Oleh karena itu, tak heran jika kini banyak kalangan mengusulkan adanya perubahan kelima terhadap konstitusi. Dalam salah satu rekomendasi MPR 2019-2024 kepada MPR periode 2024-2029, juga akan memuat tentang pentingnya dilakukan kajian mendalam dan menyeluruh terhadap UUD NRI Tahun 1945.
“Banyak hal yang perlu dibenahi. Misalnya terkait sejauh mana efektifitas penerapan Pilkada langsung dalam kehidupan demokrasi Pancasila. Termasuk mengkaji langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk menekan money politic dan high cost politic dalam Pileg dan Pilpres langsung,” ungkap Bamsoet.
Mekanisme Pilkada dan Pileg berbeda dengan Pemilihan Presiden yang oleh konstitusi diamanatkan agar dipilih langsung oleh rakyat, sebagaimana tercantum dalam pasal 6A ayat (1) bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Untuk Pilkada, amanat konstitusi dalam pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Sedangkan untuk Pileg, konstitusi mengamanatkan dalam pasal 19 ayat (1) bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
“Kita perlu mengkaji tafsir terhadap konstitusi tersebut, apakah bisa mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, serta Pileg dengan sistem tertutup seperti dahulu. Atau mengkombinasikannya dengan sistem terbuka dan tertutup, sehingga meminimalisir terjadinya korupsi, money politic, dan high cost politic. Dengan demikian bisa menyelamatkan demokrasi Pancasila agar tidak terjebak dalam demokrasi angka-angka, yang menjurus kepada demokrasi komersialisasi dan kapitalisasi, dan berujung kepada oligarki,” jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI (Ormas Pendiri Partai Golkar) dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, konstitusi yang bangsa Indonesia bangun dan perjuangkan adalah konstitusi yang ‘hidup’ (living constitution), yang mampu menjawab segala tantangan dan dinamika zaman. Sekaligus konstitusi yang ‘bekerja’ (working constitution), yang dapat dijadikan rujukan, dilaksanakan, dan memberi kemanfaatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Agar ‘hidup’ dan ‘bekerja’, konstitusi tidak boleh ‘anti’ terhadap perubahan. Mengingat perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan yang tidak akan mungkin dihindarkan. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat telah melakukan 27 kali amandemen, dan India 104 kali amandemen.
“Dalam pidatonya pada Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, Bung Karno menegaskan bahwa UUD dapat diubah oleh generasi yang akan datang jika dirasa perlu. Dalam pandangan Bung Karno, UUD bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah, melainkan sebuah landasan yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan bangsa. Hal ini mencerminkan pemikiran progresif Bung Karno bahwa konstitusi harus fleksibel dan responsif terhadap perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di masa depan,” pungkas Bamsoet. (*)