
Jakarta, Nusantara Info: Saat furnitur murah dan sekali pakai menumpuk di tempat pembuangan sampah, generasi muda alias Gen Z justru mengambil arah berbeda. Gen Z memilih melawan tren fast furniture dengan berburu barang bekas, sebuah langkah kecil, tapi berdampak besar bagi lingkungan.
Daniel Santos, seorang anak muda asal Berlin, adalah contoh nyata. Hampir semua perabot di apartemennya punya cerita unik, mulai dari meja tua yang dia temukan di pinggiran kota bekas kawasan Soviet, tempat tidur yang diangkut bareng teman serumahnya, hingga lemari antik berusia hampir seabad yang dia perbaiki sendiri.
“Aku kirim foto lemari itu ke penjualnya, dan dia senang banget tahu barang keluarganya masih dipakai,” ujarnya.
Bagi Santos, membeli barang bekas bukan cuma soal berhemat, tapi juga soal tanggung jawab terhadap planet. Ia tahu furnitur murah sering kali hanya bertahan sebentar sebelum akhirnya berakhir di tempat pembuangan akhir.
Menurut data riset industri, setiap tahun sekitar 51 juta ton furnitur diproduksi di seluruh dunia, dan lebih dari 95% akhirnya dibuang, namun sebagian besar tidak bisa didaur ulang.
Fenomena Fast Furniture dan Dampaknya
Istilah fast furniture kini semakin dikenal, menggambarkan furnitur yang diproduksi cepat, murah, dan mudah diganti layaknya fast fashion. Banyak orang tergoda untuk mengganti dekorasi rumah tiap beberapa tahun, dan furnitur lama pun berakhir sebagai limbah.
Masalahnya, furnitur modern sulit didaur ulang. Satu sofa, misalnya, terdiri dari kain, busa plastik, kayu lapis, dan logam yang direkatkan menggunakan lem dan resin campuran bahan yang hampir mustahil dipisahkan.
Di Amerika Serikat saja, ada lebih dari 12 juta ton limbah furnitur setiap tahun, dan kurang dari 0,5% yang berhasil didaur ulang.
Desainer asal Chicago, CoCo Ree Lemery, menilai tren ini tumbuh karena bahan murah dan pengaruh industri fast fashion. Sejak merek seperti Zara dan H&M meluncurkan lini perlengkapan rumah, tren musiman ikut memicu budaya konsumsi cepat.
“Banyak perusahaan besar mengejar tren ini meski dampaknya buruk dalam jangka panjang,” ungkapnya.
Gen Z dan Kesadaran Lingkungan
Di tengah budaya konsumsi cepat itu, Gen Z muncul sebagai generasi yang lebih sadar lingkungan. Mereka memilih perabot bekas, memperbaikinya, dan memberikan kehidupan baru pada yang lama.
Data dari Pinterest menunjukkan lonjakan hingga 300% untuk pencarian ‘secondhand decor’, dan pengguna Gen Z mencakup setengah dari total pencarian tersebut.
Profesor desain industri Deana McDonagh menjelaskan, anak muda kini melihat barang bekas sebagai pilihan cerdas dan bermakna.
“Furnitur lama membuat kamu merasa terhubung karena kamu harus meluangkan waktu untuk memperbaikinya,” katanya. “Itu memberi rasa memiliki yang tidak bisa dibeli.”
Sementara itu, industri furnitur besar seperti IKEA juga mendapat sorotan karena konsumsi kayu yang tinggi, yakni mencapai 0,5% dari total kayu industri dunia per tahun. Meski perusahaan membantah tudingan dari Greenpeace soal penebangan hutan tua, publik tetap menuntut transparansi dan keberlanjutan lebih.
Dari Barang Lama ke Cerita Baru
Bagi Daniel Santos, lemari tua di kamarnya bukan sekadar perabot, melainkan bagian dari kisah yang masih berlanjut, yakni kisah generasi yang menolak hidup dalam budaya buang-buang dan memilih memberi makna baru pada yang lama.
“Buatku, ini bukan sekadar barang bekas,” katanya.
“Ini tentang memberi kehidupan kedua untuk furnitur, dan untuk bumi,” tandas Santos. (*)