Bonus Demografi Sudah 14 Tahun, Tapi Ekonomi Indonesia Masih Belum Bergerak Cepat!

Bagikan

Bonus Demografi Sudah 14 Tahun, Tapi Ekonomi Indonesia Masih Belum Bergerak Cepat!
Ilustrasi bonus demografi Indonesia. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Nusantara Info: Indonesia sudah lebih dari 14 tahun menjalani masa bonus demografi, ketika jumlah penduduk usia produktif jauh lebih besar dibanding kelompok anak-anak dan lansia. Namun, peluang ekonomi dari kondisi ideal ini belum dimanfaatkan secara maksimal.

Pertumbuhan ekonomi stagnan, mayoritas tenaga kerja masih bekerja di sektor informal, dan angka kelahiran menurun di tengah tekanan ekonomi yang meningkat.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), bonus demografi terjadi saat rasio ketergantungan (dependency ratio) berada di bawah 50 persen. Artinya, jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) lebih dominan dibanding kelompok tidak produktif (anak-anak di bawah 15 tahun dan lansia di atas 65 tahun).

Indonesia mencapai titik terbaik pada 2020 dengan rasio ketergantungan sebesar 44 persen. Namun kini, meski masih dalam periode bonus demografi, manfaat ekonomi yang diharapkan belum terasa signifikan.

Pertumbuhan Ekonomi Masih Lambat

Salah satu kunci keberhasilan memanfaatkan bonus demografi adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Bank Dunia memperkirakan, untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap), sebuah negara harus tumbuh 6–7 persen per tahun.

Negara seperti Tiongkok dan Korea Selatan berhasil memanfaatkan momentum ini dengan pertumbuhan rata-rata di atas 8 persen dalam satu dekade pertama bonus demografinya. Sebaliknya, Indonesia sejak 2012 hanya tumbuh sekitar 5,1 persen per tahun (di luar masa pandemi).

Menurut Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia, I Dewa Gede Karma Wisana, kondisi tenaga kerja Indonesia belum cukup ideal untuk menopang bonus demografi.

“Lebih dari separuh penduduk usia kerja justru berada di sektor informal, dengan pendapatan tidak pasti, banyak di bawah upah minimum, dan keterampilan yang terbatas,” ujar Dewa.

Mayoritas tenaga kerja hanya berpendidikan menengah, dan meski lulusan perguruan tinggi meningkat, kualitas produktivitas masih rendah. Dampaknya, kesempatan kerja terbatas dan pengangguran tetap tinggi.

Data BPS Februari 2025 mencatat ada 7,28 juta pengangguran terbuka (4,76 persen dari total angkatan kerja 153 juta). Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan 42.385 kasus PHK pada paruh pertama 2025 naik 32 persen dibanding tahun sebelumnya.

“Bonus demografi hanya memberi manfaat jika penduduk muda memiliki pekerjaan layak dan berpendapatan memadai,” terang Dewa.

Baca Juga :  Rayakan Satu Dekade, Swiss-Belhotel Airport dan Zest Airport Jakarta Tanam Mangrove Demi Lingkungan Berkelanjutan

Pemerintah Akui Keterlambatan

Juru Bicara Kantor Komunikasi Presiden Bidang Ekonomi, Fithra Faisal Hastiadi mengakui pemerintah masih tertinggal dalam memanfaatkan momentum bonus demografi. Karena itu, pemerintahan saat ini berkomitmen mempercepat pertumbuhan ekonomi agar Indonesia segera keluar dari jebakan pendapatan menengah.

“Di era Presiden Prabowo, target pertumbuhan ekonomi ditetapkan mencapai 8 persen agar Indonesia bisa lebih cepat keluar dari ketimpangan pendapatan menengah,” ujarnya.

Menurut proyeksi Bappenas, target 8 persen baru bisa dicapai pada 2029 jika investasi difokuskan pada sektor-sektor dengan efek pengganda besar seperti industri manufaktur, energi, dan teknologi digital.

Tekanan Ekonomi dan Penurunan Kelahiran

Di sisi lain, tekanan ekonomi membuat banyak anak muda menunda menikah dan memiliki anak. Riset UNFPA 2025 berjudul The Real Fertility Crisis mencatat, 39 persen responden menunda memiliki anak karena alasan biaya hidup, dan 22 persen karena belum memiliki tempat tinggal.

Data BPS 2024 menunjukkan 69,75 persen anak muda belum menikah, sementara yang sudah menikah hanya 29,10 persen, angka yang terus menurun tiap tahun.

Total Fertility Rate (TFR) Indonesia kini berada di angka 2,1 anak per perempuan, level ideal untuk keseimbangan populasi namun menurun di kota-kota besar. Dewa memperingatkan bahwa jika tren ini terus berlanjut, Indonesia bisa mengalami penuaan penduduk lebih cepat dari perkiraan.

“Kalau tren ini meluas, pada 2050-an Indonesia bisa berada di bawah tingkat penggantian populasi. Artinya, kita akan punya lebih banyak lansia dibanding usia muda produktif,” jelasnya.

UNFPA menilai bahwa solusi bukan memaksa peningkatan kelahiran, melainkan menghapus hambatan ekonomi dan sosial agar masyarakat dapat memiliki anak sesuai keinginan.

Risiko ‘Menjadi Tua Sebelum Kaya’

Jika tren penurunan fertilitas, rendahnya produktivitas, dan lemahnya penciptaan lapangan kerja berlanjut, Indonesia berisiko menjadi negara tua sebelum sejahtera.

Bonus demografi yang seharusnya menjadi peluang emas justru bisa berubah menjadi bencana demografi jika tidak diimbangi dengan kebijakan ekonomi, pendidikan, dan ketenagakerjaan yang adaptif.

“Kita punya waktu terbatas sebelum jendela bonus demografi tertutup. Tanpa langkah serius, peluang emas ini bisa hilang begitu saja,” tutup Dewa. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait