‎Polemik Thrifting: Pedagang Bertahan, Produsen Tertekan, Kebijakan Dipertanyakan

Bagikan

‎Polemik Thrifting: Pedagang Bertahan, Produsen Tertekan, Kebijakan Dipertanyakan
Deretan pakaian bekas yang dijual di lapak thrifting kawasan Margonda, Depok, Selasa (11/11/2025). (Foto: Sari Noviyanti)

Depok, Nusantara Info: Polemik mengenai thrifting kembali menguat setelah pemerintah memperketat pengawasan terhadap peredaran pakaian bekas impor. Di tengah kenaikan minat masyarakat pada busana murah, pedagang, produsen konveksi, dan analis kebijakan publik mengemukakan pandangannya, menggarisbawahi persoalan yang tidak cukup dijawab melalui pelarangan semata.

‎Di Kota Depok, pedagang thrifting mengaku merasakan langsung dampak dari razia yang belakangan semakin intensif.

Budiwati, pedagang di kawasan Margonda, mengatakan thrifting bukan sekadar tren anak muda, melainkan penopang ekonomi keluarga.

Setiap hari ia membuka lapak sejak pagi hingga malam, menjajakan pakaian bekas impor yang harganya bervariasi.

‎“Pembeli kami macam-macam. Ada mahasiswa, pekerja harian, sampai keluarga muda. Paling murah kaos bisa cuma Rp10 ribu, paling mahal jaket branded bisa Rp100 ribu sampai Rp200 ribu. Itu pun kalau dapat barang bagus,” ujarnya.

‎Ia menambahkan bahwa seluruh pakaian yang masuk ke lapaknya sudah dicuci ulang sebelum dijual. “Kami sadar ada isu kesehatan. Justru karena itu kami bersihkan lagi semua barang sebelum ditaruh di rak,” katanya.

‎Kementerian Perdagangan mencatat bahwa sepanjang 2023–2024, Bea Cukai telah menggagalkan masuknya lebih dari 1.200 ton pakaian bekas ilegal.

Di level industri, Asosiasi Pertekstilan Indonesia memperkirakan bahwa banjirnya barang impor murah, baik pakaian bekas maupun produk fast fashion berharga rendah, telah menekan sekitar 5.600 pelaku IKM tekstil dan mengancam sektor yang menyerap 3,7 juta tenaga kerja.

‎Di sisi lain, pelaku industri konveksi lokal menyuarakan kecemasan berbeda. Nilam Kumala, produsen baju anak di Depok, mengatakan harga produk lokal sering kali tidak mampu bersaing dengan harga thrifting yang sangat murah.

“Bagaimana produk lokal mau bertahan? Kami membayar tenaga kerja, listrik, pajak, standar produksi. Sementara di luar sana, konsumen bisa beli baju bekas Rp20 ribu atau Rp30 ribu,” ungkap dia.

Padahal biaya menjahit satu baju anak saja sekarang Rp25 ribu–Rp40 ribu per potong. Untuk baju dewasa bisa Rp50 ribu sampai Rp80 ribu, dan khusus pakaian perempuan, karena polanya lebih kompleks, bisa Rp50 ribu sampai Rp120 ribu,” lanjut Nilam.

Baca Juga :  Ketua Umum Pujangga '94 Bantu Korban Longsor Bawah Laut di Kabupaten Minahasa Selatan

‎Ia menyebut bahwa kenaikan upah minimum, harga benang, dan biaya operasional membuat ruang gerak IKM semakin sempit. “Bukan soal kami anti thrifting. Tapi kalau pasar dibiarkan liar, industri lokal bisa mati pelan-pelan,” tuturnya.

‎Pengamat kebijakan publik Malik Abida melihat persoalan thrifting sebagai problem multidimensi yang tidak dapat diselesaikan melalui pendekatan represif.

Ia menilai pemerintah perlu memperkuat pengawasan di hulu alih-alih hanya menertibkan pedagang kecil di hilir.

‎“Selama jalur masuk barang bekas impor tidak tertata, razia di pasar hanya menjadi tindakan kosmetik. Permintaan masyarakat terhadap barang murah tetap tinggi. Yang perlu dilakukan adalah menata, bukan mematikan,” ujarnya.

‎Malik menambahkan bahwa thrifting juga tidak bisa dipisahkan dari kondisi ekonomi rumah tangga urban.

Di tengah naiknya harga kebutuhan pokok, pilihan pakaian dengan harga antara Rp10 ribu hingga Rp100 ribu menjadi alternatif yang rasional bagi masyarakat.

‎”Sementara industri lokal membutuhkan proteksi yang konsisten untuk menjaga keberlanjutan rantai produksinya,” beber dia.

‎Di Depok, pergulatan itu terasa di antara deretan lapak pakaian bekas dan sentra konveksi rumahan. Bagi pedagang seperti Budiwati, thrifting adalah ruang hidup yang menopang kebutuhan harian.

Bagi produsen seperti Nilam, thrifting adalah ancaman yang merayap perlahan terhadap masa depan industri lokal. Dan bagi analis kebijakan, ini adalah ujian sekaligus peluang bagi negara untuk menata keseimbangan antara perlindungan konsumen, keberlangsungan industri, dan ketertiban pasar.

‎Pada akhirnya, pemerintah dihadapkan pada pilihan yang rumit: menjaga roda ekonomi rakyat tetap berputar tanpa membiarkan industri lokal melemah. Persoalan thrifting menuntut kebijakan yang presisi, bukan sekadar razia, tetapi penataan menyeluruh dari hulu ke hilir. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait