Yogyakarta (1/3/2021): Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti meninjau dua lokasi vaksinasi massal yaitu Pasar Beringharjo dan Museum Benteng Vredeburg.
Pasar Beringharjo terletak di pusat Kota Yogyakarta. Dulunya ternyata hutan beringin di sebelah utara Kraton Ngayogyakarta. Hutan itu digambarkan angker. Sulit untuk membayangkan keangkerannya karena sekarang posisinya di tengah kota. Pasar itu berdiri pada tahun 1758.
Bangunan pasar bagian depan sejak dibangun pada tahun 1925 sampai sekarang tidak ada perubahan. Hanya situasi jalanan Malioboro hingga depan pasar yang berubah. Hingga tahun 1970, arus lalu-lintas Malioboro hingga titik nol kilometer adalah dua arah. Mulai tahun 1980 hingga sekarang arus lalu-lintas hanya searah dari utara ke selatan, mulai dari Tugu Yogyakarta di Jl Mangkubumi hingga titik nol kilometer.
Pada tahun 1925 Keraton Yogyakarta memerintahkan sebuah perusahaan beton Hindia Belanda untuk membuat los-los pasar supaya lebih representif dan membuat nyaman masyarakat dalam berdagang. Pembangunan los-los Pasar Beringharjo oleh Nederlansch Indisch Beton Maatschappij. Pada akhir bulan Agustus 1925 pembangunan tahap pertama los pasar bagian depan selesai. Pembangunan pasar dilakukan pada era kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Sejak itu bernama Pasar Beringharjo karena menempati alas/hutan Beringin. Sedangkan kata Harjo mengandung makna sejahtera.
Pasar Beringharjo adalah pasar dengan nilai historis dan filosofis yang tidak dapat dilepaskan dari Keraton Yogyakarta. Nama Beringharjo memiliki makna wilayah yang semula hutan beringin dan diharapkan mampu menjadi poros kesejahteraan bagi warga Yogyakarta dan sekitarnya, kemudian diresmikan ketika bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada 24 maret 1925. Saat ini bangunan Pasar Beringharjo memiliki dua bangunan barat dan timur yang dipisahkan sebuah jalan menuju ke kawasan Ketandan.
Di pintu masuk pasar di kanan dan kiri terdapat dua buah ruangan berukuran sekitar 2,5 x 3,5 meter yang digunakan untuk kantor pengelola pasar. Di los terdepan sebagian besar berjualan aneka macam kain batik, pakaian dan perhiasan emas.
Bangunan Pasar Beringharjo yang masih asli dengan los-los pasar terbuka ada di bagian depan atau pintu masuk hingga ke belakang terutama di bagian los penjualan pakaian dan lain-lain. Sedangkan los pasar bagian belakang untuk los makanan, sayuran, daging dan lain-lain dengan tiga lantai itu merupakan bangunan baru.
Sultan Keraton Yogyakarta Hadiningrat yang juga Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menjelaskan makna tersirat di balik Pasar Beringharjo.
Sultan menuturkan dalam sumbu filosofi, Keraton Yogyakarta ditempatkan sebagai pusatnya, yang melambangkan bahwa seorang sultan harus mampu mengantarkan dan membimbing masyarakatnya tanpa membeda-bedakan. Sedangkan perjalanan dari Keraton Yogyakarta menuju utara atau tugu, yang melewati Pasar Beringharjo disimbolkan sebagai nafsu keduniawian.
Secara simbolis, ujar Sultan, jika manusia terjebak di titik jalan pasar itu, maka dirinya akan terjebak dalam urusan dunia. Namun jika manusia bisa melewatinya atau tidak terjebak, maka akan mendapat kemuliaan. Hal itulah yang melatari mengapa jalan di sebelah utara Pasar Beringharjo bernama Jalan Margo Mulyo.
“Lalu ke utara lagi dari Jalan Margo Mulyo itu, ada jalan Margo Utomo. Artinya setelah manusia mendapatkan kemuliaan ia akan mencapai keutamaan,” ujar Sultan.
Pasar Beringharjo memiliki nilai historis dan filosofis dengan Kraton Ngayogyakarta karena telah melewati tiga fase, yakni masa kerajaan, penjajahan, dan kemerdekaan. Ciri khas bangunan Pasar Beringharjo dapat dilihat pada interior bangunan yang merupakan perpaduan antara arsitektur kolonial Belanda dan Jawa. Inilah warna tiga fase tersebut. (*)