Malang (29/2/2024): Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) Diseminasi dan Asistensi Kebijakan Pemerintah Dalam Penyelesaian Sengketa dan Konflik-konflik Pertanahan di Daerah. Acara ini berlangsung di Kota Malang, Rabu (28/2/2024).
Dalam sambutannya, Pelaksana Harian (Plh) Dirjen Bina Adwil Kemendagri, Amran mengatakan rapat tersebut ditujukan untuk menyelesaikan berbagai macam masalah dan konflik pertanahan yang terjadi di daerah dan untuk menyamakan persepsi antara pemerintah daerah (Pemda) dan Pemerintah Pusat. Mengingat, masalah pertanahan tidak dapat dipisahkan dengan proses penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ia menjelaskan penyebab terjadinya sengketa dan konflik pertanahan, disebabkan oleh beberapa hal di antaranya. Pertama, persoalan administrasi pertanahan yang tidak terkelola dengan baik. Kedua, ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah. Ketiga, legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan produktivitas tanah dan keempat tidak optimalnya kebijakan satu peta khususnya sinkronisasi peta batas tanah dengan batas wilayah pemerintahan (desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan adat).
“Apabila ada barang milik daerah berupa tanah segera di sertifikatkan jangan didiamkan banyak yang hal serupa, muncul masalah karena tadi mungkin kelalaian dalam hal administrasi,” ujar Amran.
Untuk dapat menyelesaikan konflik pertanahan dengan baik, Amran meminta pemerintah daerah (Pemda) untuk memperkuat dan menyempurnaan data serta informasi database sebagai modal dasar penanganan permasalahan tanah di daerah masing-masing. Ia juga menegaskan persoalan pertanahan perlu mendapatkan prioritas penanganan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemda.
“Hampir semua pengaduan masalah pertanahan sampai ke kami karena data tidak lengkap kepemilikan tidak jelas dan mudah di gugat oleh masyarakat,” tuturnya.
Selain memperkuat database, untuk menyelesaikan masalah pertanahan, kata Amran ada beberapa hal yang dapat dilakukan, salah satunya dengan cara memperkuat koordinasi penyelesain masalah tanah antara gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat kepada seluruh jajaran baik tingkat bupati, camat dan lurah. Jika hal tersebut dilakukan, maka masyarakat tidak perlu lagi melaporkan masalah tanah ke pemerintah pusat.
“Ada laporan ke kami (Kemendagri) masyarakat tetangga membangun tembok di depan rumahnya itu cukup diselesaikan di tingkat Kelurahan, seperti inilah permasalahannya kalau di level kabupaten/kota koordinasinya diperkuat,” jelasnya.
Amran memaparkan Kemendagri menerima berbagai pengaduan kasus pertanahan dengan jumlah yang cukup besar setiap tahunnya.
Pada tahun 2021 sampai dengan 2023, kasus pertanahan yang dilaporkan Kemendagri mencapai 1494 kasus, dengan kasus terbanyak terjadi pada sengketa tanah garapan sebanyak 34 persen dan masalah subyek dan obyek reditribusi tanah, ganti kerugian tanah sebanyak 31 persen.
Sementara itu, mengutip data dari Kantor Staf Presiden (KSP), tahun 2015 sampai dengan Agustus 2022 menerima pengaduan sebanyak 1504 kasus yang didominasi kasus Perseroan Terbatas Perkebunan Negara (PTPN) Hak Guna Usaha (HGU) sebanyak 271 kasus.
“Tingginya kasus pertanahan yang dilaporkan kepada K/L menuntut penanganan yang kolaboratif dan berkesinambungan melalui sinergitas pusat dan daerah,” tandasnya. (*)