
Jakarta, Nusantara Info: Cokelat isian krim pistasio, matcha atau teh hijau penambah energi, hingga serealia “superfood” seperti quinoa sempat menjadi tren global. Namun di balik kehebohan kuliner mewah tersebut, tersimpan persoalan serius terhadap lingkungan dan keberlanjutan pangan dunia.
Cokelat Dubai menjadi contoh paling mencolok. Penganan manis berisi krim pistasio dan helaian kadayif ini diciptakan oleh Sarah Hamouda, pemilik Fix Dessert Chocolatier di Dubai. Berkat promosi para influencer di media sosial, produk tersebut menjelma menjadi simbol kemewahan kuliner dengan harga mencapai sekitar Rp134 ribu per 100 gram.
Namun sejak viral pada akhir 2023, permintaan global terhadap kacang pistasio melonjak drastis. Data menunjukkan, pada 2024 impor pistasio ke Uni Eropa meningkat lebih dari sepertiga dibanding tahun sebelumnya dengan nilai pasar menembus 1 miliar euro atau sekitar Rp19 triliun.
Pistasio: Mahal Secara Ekonomi, Boros Secara Ekologi
Lonjakan permintaan ini menimbulkan konsekuensi besar di negara penghasil pistasio seperti Spanyol, Iran, dan Amerika Serikat.
Menurut Stig Tanzmann dari organisasi Brot für die Welt, budidaya pistasio membutuhkan lebih dari 10.000 liter air untuk menghasilkan satu kilogram.
“Tanamannya cocok untuk iklim panas dan kering, tapi agar hasilnya berkualitas tinggi, petani tetap harus menggunakan irigasi tambahan,” ujarnya.
Dampaknya, wilayah kering seperti Andalusia di Spanyol kini menghadapi risiko kekurangan air. Selain itu, sistem monokultur dan penggunaan pestisida yang tinggi juga mengancam kesuburan tanah dan keanekaragaman hayati.
Matcha: “Superfood” yang Memicu Krisis Pasokan
Tren serupa terjadi pada matcha, teh hijau bubuk asal Jepang yang kini menjadi bagian dari gaya hidup sehat global. Permintaan dunia melonjak hingga 240% pada 2024, menjadikan Jepang kewalahan memenuhi kebutuhan ekspor.
Matcha berkualitas tinggi membutuhkan proses produksi yang kompleks dari penanaman di bawah naungan, pemetikan manual, hingga penggilingan halus. Akibat keterbatasan pasokan, harga grosir matcha di Jepang naik hampir tiga kali lipat, sementara harga eceran naik dua kali lipat.
“Bagi petani kecil, harga tinggi bukan keuntungan, tapi tekanan,” ujar Yuji Yamakita, pedagang teh di Kyoto.
“Mereka tidak punya modal dan alat modern untuk meningkatkan produksi, sementara permintaan terus meningkat,” sambungnya.
Quinoa: Superfood yang Menyusahkan Petani Andes
Tanaman quinoa juga pernah jadi simbol makanan sehat dunia setelah ditetapkan FAO sebagai superfood pada 2013.
Namun di balik itu, petani di Bolivia dan Peru justru kesulitan membeli bahan pokok sendiri karena harga quinoa lokal melonjak.
“Dulu tanah dibiarkan istirahat tujuh tahun agar pulih. Sekarang hanya satu tahun karena permintaan tinggi. Pupuk kimia dan pestisida pun digunakan berlebihan,” ungkap Marcus Wolter dari organisasi Misereor.
Selain itu, praktik pertanian di lahan kering Andes menimbulkan erosi dan merusak ekosistem yang sebelumnya digunakan untuk memelihara llama.
“Tanah jadi tandus, padang rumput hilang, dan petani kehilangan mata pencaharian jangka panjang,” ujarnya.
Pelajaran dari Tren Kuliner Dunia
Para ahli mengingatkan, fenomena “makanan viral” bisa berdampak sistemik terhadap rantai pasok dan lingkungan.
Claudia Brück dari Fairtrade Jerman menekankan pentingnya diversifikasi. “Petani sebaiknya tidak hanya bergantung pada satu komoditas. Misalnya, menanam kopi diselingi kacang-kacangan agar tanah tetap subur dan pendapatan lebih stabil,” katanya.
Sementara Tanzmann menilai bahwa tanggung jawab tidak hanya di tangan produsen. “Mereka yang mempromosikan tren juga harus memikirkan dampaknya. Jangan hanya fokus pada keuntungan,” ujarnya.
Pada akhirnya, konsumen pun berperan penting. Di era media sosial, sikap kritis terhadap tren makanan baru perlu ditingkatkan. Sebab, setiap “superfood” yang viral di dunia maya mungkin saja meninggalkan jejak ekologis yang tidak terlihat di dunia nyata. (*)