PBB Bongkar Fakta Mengerikan Rezim Korea Utara: Penonton Drama Korsel Dihukum Mati

Bagikan

PBB Bongkar Fakta Mengerikan Rezim Korea Utara: Penonton Drama Korsel Dihukum Mati
Ilustrasi Korea Utara hukum mati penonton drama Korsel. (Foto: Istimewa)

Seoul, Nusantara Info: Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) merilis laporan terbaru yang menyebut rakyat Korea Utara hidup di bawah rezim paling represif di dunia. Dalam laporan setebal 14 halaman itu, pemerintah Pyongyang disebut menjatuhkan hukuman mati hanya karena warganya berbagi konten asing, termasuk drama televisi Korea Selatan (Korsel).

Laporan tersebut disusun berdasarkan wawancara dengan sekitar 300 orang pembelot Korea Utara yang berhasil melarikan diri. Seperti biasa, pemerintah Korea Utara menolak memberikan akses dan membantah semua temuan PBB.

Kontrol Ketat Hak Asasi Manusia

Laporan PBB menegaskan bahwa pemerintah Korea Utara mengendalikan penuh kehidupan rakyatnya, membatasi hak-hak mendasar, dan mencegah warganya membuat keputusan politik, sosial, atau ekonomi sendiri.

PBB juga menyoroti tiga undang-undang yang mengkriminalisasi akses informasi dari luar negeri tanpa izin, melarang konsumsi publikasi, musik, dan film dari negara “musuh”, hingga melarang penggunaan ungkapan bahasa yang tidak sesuai dengan ideologi sosialis.

“Undang-undang ini menimbulkan keprihatinan serius mengenai pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi,” tulis laporan itu. Hukuman yang dijatuhkan bahkan ekstrem: hukuman mati terhadap kebebasan berbicara yang dilindungi secara internasional.

James Heenan, Kepala Kantor HAM PBB untuk Korea Utara, mengatakan sejumlah warga telah dieksekusi karena menyebarkan serial TV asing, termasuk drama Korea Selatan (Korsel).

“Hukuman mati bagi mereka yang mengakses film asing melampaui hukuman untuk pembunuhan, dan ini bertentangan dengan hak untuk hidup,” ujarnya.

Sesi “Kritik Diri” dan Penjara Angker

PBB mencatat bagaimana pemilu di Korea Utara hanya sebatas simbol, sementara rakyat dipaksa mengikuti sesi “kritik diri” dan indoktrinasi partai. Para pembelot juga melaporkan penyiksaan, perlakuan buruk, hingga kematian di tahanan akibat kerja paksa, kelaparan, dan bunuh diri.

Kim Eujin, pembelot Korea Utara yang kini bekerja di Seoul, membenarkan situasi itu. “Pemerintah mengontrol setiap bagian hidup rakyat. Orang-orang dieksekusi mati hanya karena menonton atau menyebar konten televisi asing,” ujarnya.

Baca Juga :  Serangan Udara Israel Tewaskan Satu Keluarga Gaza yang Tidur dalam Kelaparan

Selain akses hiburan, rezim juga mengendalikan pangan dengan melarang penjualan beras atau jagung di pasar bebas. Warga hanya bisa membeli kebutuhan pokok di toko pemerintah dengan harga lebih tinggi.

“Jika rejim mengendalikan pangan, mereka bisa mempersulit hidup semua yang tidak menaati aturan mereka,” kata Kim.

Ketakutan Rezim terhadap Dunia Luar

Pembelot dan aktivis HAM meyakini pembatasan ini mencerminkan ketakutan rezim Kim Jong-un terhadap pengaruh luar. Selain membatasi makanan dan hiburan, rezim juga melarang gaya rambut, pakaian, bahkan penggunaan kata-kata ala Korea Selatan.

“Hukum baru ini menunjukkan bahwa undang-undang lama tidak efektif dan Kim Jong-un semakin takut jika rakyat tahu bagaimana kehidupan di luar Korea Utara,” ujar Kim Eujin.

Dilema Bantuan Internasional

Aktivis HAM Song Young-Chae menilai pembatasan yang ekstrem justru menandakan kelemahan rezim. Namun, solusi untuk persoalan HAM di Korea Utara tetap sulit. Sementara beberapa pihak mendorong bantuan kemanusiaan untuk meningkatkan taraf hidup warga, hubungan erat Korea Utara dengan Rusia dan Cina menunjukkan rezim masih memilih jalan otoritarian.

Kim Eujin mengkritik kebijakan pemerintah Korea Selatan yang menghentikan siaran radio ke Utara. “Siaran ini adalah salah satu cara langka bagi rakyat untuk mengetahui dunia luar. Jika kita hanya bersikap baik pada rezim, kita lupa bersikap baik pada rakyat,” katanya.

Meski ada sedikit perbaikan, seperti berkurangnya kekerasan penjaga penjara dan aturan baru yang seolah memperkuat jaminan pengadilan adil, laporan PBB tetap menyimpulkan: kebebasan di Korea Utara bukan hanya terbelenggu, melainkan juga dijadikan alat represi. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait