Perang Dagang AS-Cina Memanas: Beijing Balas Trump dengan Strategi Pasar Global Baru

Bagikan

Perang Dagang AS-Cina Memanas: Beijing Balas Trump dengan Strategi Pasar Global Baru
Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping. (Foto: Istimewa)

Jakarta, Nusantara Info: Dalam eskalasi terbaru perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina, langkah Donald Trump menaikkan tarif impor terhadap produk Cina justru membuat Beijing semakin percaya diri. Alih-alih tertekan, Cina kini aktif memperluas pasar ekspor ke Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Latin sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap AS.

Sebuah foto yang viral di media sosial menggambarkan ironi hubungan dagang kedua negara: pin bendera AS yang dibungkus plastik transparan bertuliskan “Made in China.”

Bagi pendukung Trump, ini simbol keterpurukan industri Amerika, yang memicu seruan “boikot produk Cina.” Namun, apakah AS benar-benar bisa melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi terhadap Cina?

Ketergantungan Timbal Balik yang Tak Mudah Diputus

Jawabannya, menurut para ahli, adalah tidak. “Ketergantungan timbal balik kedua pihak masih cukup tinggi,” jelas Scott Kennedy, pakar kebijakan Cina dari Center for Strategic and International Studies (CSIS). “Meski ada risiko keamanan ekonomi, kedua negara masih saling diuntungkan.”

Namun hubungan ini tidak seimbang. Sepanjang dekade terakhir, defisit perdagangan AS terhadap Cina meningkat tajam dari 295 miliar dolar AS (Rp 4.893 triliun) menjadi 382 miliar dolar AS (Rp 6.337 triliun). Pada 2024, Cina mengekspor barang senilai 526 miliar dolar AS ke Amerika, atau tiga kali lipat dari ekspor AS ke Cina.

Produk-produk Cina seperti ponsel pintar dan komputer menyumbang seperempat nilai total impor AS dari Cina. Artinya, setiap kenaikan tarif akan langsung memukul konsumen AS, bukan Cina.

Percaya Diri dan Terukur

Menanggapi kebijakan Trump, Beijing menegaskan akan “berjuang sampai akhir.” Pemerintah Cina menilai ancaman tarif tinggi bukanlah cara efektif untuk bernegosiasi.

Sebagai balasan, Cina menerapkan tarif impor dan pembatasan ekspor, terutama untuk logam tanah jarang (rare earth elements), yang merupakan bahan penting bagi industri mobil listrik, semikonduktor, turbin, dan peralatan militer.

AS sendiri bergantung lebih dari 90% pada impor mineral kritis, dan sekitar 80% di antaranya berasal dari Cina, yang menguasai 60% produksi global dan 90% pengolahannya.

Tak Lagi Beli Kedelai AS

Baca Juga :  Putra Way Kanan Lampung Agus Fatoni Dilantik Jadi Pj Gubernur Papua

Sejak Mei 2025, Cina menghentikan pembelian kedelai dari AS, padahal tahun sebelumnya nilainya mencapai 13 miliar dolar AS (Rp 315 triliun). Kini Beijing lebih banyak mengimpor dari Brasil dan Argentina.

Kebijakan ini merupakan pukulan balik strategis terhadap pembatasan ekspor chip dan teknologi tinggi yang diberlakukan AS sejak 2022.

“Kemungkinan AS lebih bergantung pada Cina daripada sebaliknya,” ujar Christina Otte, analis dari Germany Trade & Invest (GTAI).

Ekspor Cina Bergeser: Dari AS ke Dunia Selatan

Data Bloomberg menunjukkan bahwa dalam setahun terakhir, ekspor Cina ke Afrika naik 56%, ke Asia Tenggara 16%, ke Uni Eropa 14%, dan ke Amerika Latin 15%.

“AS kini bukan lagi mitra ekspor utama Cina. Pada paruh pertama 2025, perdagangan bilateral bahkan turun 10,4% dibandingkan tahun sebelumnya,” jelas Otte.

Selain itu, banyak perusahaan Cina kini memindahkan fasilitas produksinya ke luar negeri, seperti Vietnam dan Malaysia, untuk tetap menembus pasar AS tanpa terkena tarif tinggi.

Langkah lain Beijing untuk menjauh dari ketergantungan ekonomi AS adalah dengan menjual surat utang pemerintah AS (US Treasury Securities).

Pada 2013, Cina memegang obligasi AS senilai 1,3 triliun dolar AS (Rp 21.500 triliun), namun pada Maret 2025, nilainya turun menjadi 765 miliar dolar AS (Rp 12.678 triliun). Kini Cina berada di posisi ketiga setelah Jepang dan Inggris sebagai pemegang obligasi terbesar.

“Chimerica” Belum Mati

Meski tensi tinggi, pakar CSIS Scott Kennedy menilai hubungan ekonomi kedua negara belum sepenuhnya runtuh.

“Cina masih bergantung pada pasokan AS dalam beberapa sektor seperti teknologi penerbangan dan semikonduktor,” ujarnya.

Kedua negara pun akan mencoba menurunkan ketegangan. Presiden Xi Jinping dan Donald Trump dijadwalkan bertemu dalam KTT APEC di Gyeongju, Korea Selatan, akhir Oktober ini, guna mencari titik temu untuk menghindari kerugian lebih besar.

“Hubungan AS dan Cina masih cukup kuat. ‘Chimerica’ terguncang, tapi belum mati dan tidak bisa begitu saja dihapuskan,” pungkas Kennedy. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait