Upaya untuk Mencegah Paraphilia Beraksi di Angkutan Umum

Bagikan

Upaya untuk Mencegah Paraphilia Beraksi di Angkutan Umum

Jakarta, Nusantara Info: Suasana yang padat penumpang di gerbong Commuterline yang lebih dikenal sebagai KRL (Kereta Rel Listrik) dimanfaatkan oleh orang-orang dengan perilaku paraphilia (menyalurkan dorongan seksual dengan cara-cara yang lain), seperti frotteur yaitu salah satu bentuk paraphilia.

“Jangan didorong-dorong, dong!” Itu suara seorang perempuan persis di belakang saya di pintu gerbong 11 KRL relasi Jatinegara-Angke ketika transit di Stasiun Tanah Abang pada (21/1/2025) lalu, pukul 06.40 WIB.

Saya lirik ke belakang ternyata ada seorang laki-laki yang mendorong perempuan di depannya persis di belakang saya dengan menempelkan bagian tengah badannya atau kemaluannya ke bokong perempuan tersebut.

Yang dilakukan laki-laki tersebut merupakan salah satu bentuk paraphilia, yaitu deviasi seksual yang menyalurkan dorongan seksual dengan cara-cara yang lain, dalam hal ini disebut frotteurism yaitu berupa tindakan menyentuh, menggosok-gosokkan, meraba-raba atau meremas area genital (organ seks), dan nongenital, seperti pundak, paha dan betis. Tindakan nongenital pada orang yang tidak dikenal ini tidak akan membuat orang tersebut curiga.

Yang jelas hal itu dilakukan oleh frotteur dengan orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Tentu saja korban tidak menyetujui tindakan tersebut. Hal itu dilakukan oleh kalangan frotteur untuk mencapai kenikmatan secara seksual dengan fantasi yang biasanya dilakukan ranah publik (public sphere) di keramaian, trotoar, tangga, eskalator, lift dan angkutan umum.

Bertolak dari kejadian di atas untuk menjaga harkat dan martabat kaum perempuan selayaknya PT KAI dan KAI Commuter membagi penumpang yang naik dan turun berdasarkan jenis kelamin.

Di setiap gerbong KRL ada empat pintu. Maka, bisa diatur agar perempuan naik dan turun melalui dua pintu tengah dan laki-laki turun melalui dua pintu lainnya. Langkah ini akan menunjukkan tingkat keberadaban sebuah bangsa dengan menunjukkan penghargaan terhadap perempuan agar terhindar dari perbuatan yang tidak menyenangkan.

Baca Juga :  Lepas 164 Orang ke Peparnas XXVII, Pj Gubernur Agus Fatoni Targetkan Kontingen Sumut Raih Tiga Besar

Perilaku frotteur tersebut merupakan bentuk untuk mencapai gairah seksual yang terjadi melalui gesekan, rabaan atau sentuhan alat genital atau nongenital terhadap orang yang sama sekali tidak dikenal dan tentu saja tidak akan menyetujuinya

Hal itu biasanya terjadi secara cepat, seperti pengendara sepeda atau pemotor yang mendekati perempuan yang jalan kaki tiba-tiba meremas payudara atau bokong. Atau ketika naik dan turun angkutan umum yang padat, juga bisa di dalam lift, tangga, atau eskalator. Ini dilakukan oleh frotteur.

Itu yang jadi masalah besar, para frotteur justru tidak tertarik pada orang yang dia kenal, seperti pacar atau istrinya. Soalnya, reaksi korban, seperti mimik wajah atau teriakan jadi pendorong bagi kepuasan hasrat seksual mereka.

Dalam bentuk yang lebih halus dikenal sebagai toucherisme yaitu menyentuh dan menggenggam tangan atau bagian tubuh lawan jenis. Ini juga terhadap orang yang sama sekali tidak dikenal. Maka, tanpa disadari hal ini sering terjadi, terutama di keramaian dan angkutan umum karena tidak mencurigkan.

Cara-cara yang dilakukan melalui toucherisme (menyentuh bagian yang erotis pada tubuh) dan froutter merupakan agresi secara seksual, terutama terhadap perempuan merupakan perbuatan yang tidak menyenangkan sebagai tindakan melawan hukum. Sayang, di Indonesia tidak ada peraturan yang khusus menyasar perilaku frotteur.

Tindakan frotteur dan toucherisme adalah tindak pidana atau kriminalitas karena dilakukan tanpa konsensus atau persetujuan dengan korban.

Di Indonesia sudah sering terjadi begal payudara dan bokong, tapi tidak ada pasal yang khusus untuk menjerat frotteur. Pasal yang dipakai adalah kekerasan seksual secara fisik di UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) dengan ancaman hukuman pidana kurungan paling lama empat tahun atau pidana denda Rp 50 juta.

Ini tidak akan bikin jera pelaku, sementara korban mengalami trauma sepanjang hayatnya. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait