Senin (8/6), AirNav Indonesia secara resmi melakukan uji coba prosedur user preferred route (UPR) yang dapat meningkatkan efisiensi penerbangan lintas udara (overfly) yang melintasi ruang udara Indonesia.
Direktur Utama AirNav Indonesia, Pramintohadi M. Sukarno mengemukakan, bahwa uji coba UPR tersebut dilaksanakan mulai 8 Juni hingga 30 Agustus 2020 mendatang.
“Selama masa uji coba ini, kami akan menghitung estimasi efisiensi terhadap biaya operasional yang akan diterima oleh maskapai.UPR memangkas jarak tempuh penerbangan lintas internasional yang melewati ruang udara Indonesia yang terbagi menjadi dua flight information region (FIR), yaitu FIR Jakarta dan FIR Ujung Pandang,” kata Pramintohadi.
Pramintohadi menambahkan, bahwa pemangkasan jarak tempuh ini diikuti dengan optimalisasi performa pesawat udara menjadi seefisien mungkin sehingga menurunkan konsumsi dan emisi bahan bakar pesawat udara. Hal ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh AirNav Indonesia agar industri penerbangan Indonesia menjadi lebih ramah lingkungan.
“Kami melakukan uji coba UPR pada periode low traffic akibat dari pandemi COVID-19 yang tengah melanda dunia. UPR dapat digunakan oleh penerbangan lintas udara yang terbang pada ketinggian 35.000 – 60.000 kaki di atas permukaan air laut,” ujarnya.
Lebih lanjut Pramintohadi menjelaskan, bahwa UPR merupakan salah satu metode manajemen ruang udara dengan konsep free-route airspace yang menghasilkan rute alternatif. Rute ini memberikan keleluasaan bagi maskapai untuk menentukan rutenya sendiri yang paling efisien dengan mempertimbangkan arah dan kecepatan angin, potensi turbulensi, suhu udara, serta jenis dan kinerja pesawat udara.
“Kami telah melakukan sosialisasi kepada maskapai mengenai mekanisme dan kualifikasi yang harus dipenuhi untuk menggunakan UPR. Maskapai telah kami berikan dokumen teknisnya atau dapat pula mengaksesnya dengan mudah melalui website www.airnavindonesia.co.id. Mekanisme UPR ini adalah maskapai yang mengajukan rute paling cepat 12 jam atau paling lambat enam jam sebelum estimasi waktu block-off atau istilah penerbangannya adalah estimate off block time (EOBT). Kemudian kami akan meresponnya paling lambat tiga jam sebelum EOBT apakah disetujui atau ditolak dengan alasan tertentu. Jika ditolak, mekanisme pengajuan kembalinya juga diatur di dalam dokumen teknis tersebut,” papar Pramintohadi.
Dengan mengimplementasi UPR, menurut Pramintohadi akan menyejajarkan Indonesia dengan negara-negara Eropa yang mengimplementasikan Free-Route Airspace dalam Functional Airspace Block (FAB) dan dengan Australia yang telah menggunakan konsep FLEX-TRACK. “Kami berharap UPR akan menjadi salah satu stimulus dalam pemulihan jumlah pergerakan pesawat udara khususnya di ruang udara Nusantara, sehingga berkontribusi pula terhadap pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi ini,” tutup Pramintohadi.