
Jakarta, Nusantara Info: Rencana damai 20 poin yang diajukan Presiden AS Donald Trump mendapat dukungan resmi dari delapan negara mayoritas Muslim, yakni negara Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar, Turki, Indonesia, dan Pakistan.
Namun di tengah reruntuhan Gaza dan angka korban tewas yang menembus sekitar 66.000 jiwa, penerimaan ini belum tentu menjamin perdamaian: segala sesuatu kini bergantung pada keputusan Hamas, yang menyatakan akan mempelajari isi proposal, sementara banyak warga Gaza menilai rencana itu sebagai “lelucon”.
Di permukaan, dukungan internasional tampak luas; tetapi di baliknya tersimpan pertanyaan kritis tentang legitimitas, kedaulatan, dan kelayakan implementasi rencana tersebut.
Inti Rencana 20 Poin
Menurut rincian yang beredar, rencana Trump menuntut gencatan senjata serta pembebasan seluruh sandera oleh Hamas dalam tempo 72 jam setelah Israel menyetujui rencana itu.
Salah satu poin paling kontroversial adalah pembentukan pemerintahan sementara di Gaza yang diawasi oleh sebuah badan bernama Dewan Perdamaian yang dipimpin oleh Trump dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Rencana itu juga menghendaki pembongkaran infrastruktur militer Hamas dan penghentian kekuasaan kelompok tersebut.
Meskipun tidak memerintahkan relokasi warga sipil, rencana tersebut tetap membuka jalan bagi pembongkaran struktur di Gaza dan kelanjutan pengepungan militer oleh Israel, dengan pengamanan internal yang dipercayakan pada pasukan keamanan internasional yang sekaligus melatih kepolisian Palestina.
Dukungan Internasional: Luas Tapi Problematik
Selain negara-negara Muslim yang menyatakan dukungan, sejumlah pemimpin Eropa dan Asia juga menyambut rencana itu: Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Friedrich Merz, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez, Perdana Menteri India Narendra Modi, serta Australia.
Mereka menilai rencana tersebut menawarkan jalan keluar atau sekurang-kurangnya peluang untuk mengakhiri konflik. Di pihak Palestina, Otoritas Palestina di Tepi Barat menyatakan sambutan positif dan kesiapan melakukan reformasi politik. Turki bahkan siap mengawal misi kemanusiaan melalui konvoi laut.
Tetapi dukungan lintas-benua ini menimbulkan dua masalah penting. Pertama, legitimasi: apakah rencana yang dipimpin atau diawasi tokoh-tokoh yang jelas-jelas berkepentingan politik eksternal bisa dianggap netral dan adil?
Kedua, konsistensi tujuan: banyak pihak menuntut agar solusi berorientasi pada hak-hak rakyat Palestina, termasuk kedaulatan dan kemerdekaan, sementara rencana ini menempatkan Gaza dalam keadaan yang secara de facto tetap terikat pada kendali militer Israel.
Suara di Gaza: “Lelucon” atau Kesempatan?
Di wilayah yang porak-poranda itu, tanggapan publik bercampur aduk. Ada yang melihat rencana itu sebagai upaya eksternal untuk menyudahi penderitaan, tetapi banyak pula yang menolaknya keras.
Seorang warga Gaza, Abu Mazen Nassar (52), menyebut dokumen itu “lelucon” karena dianggap hanya berfokus pada pembebasan sandera tanpa menyudahi perang secara menyeluruh atau mengakhiri penjajahan dan pengepungan yang melumpuhkan kehidupan sipil.
Kelompok-kelompok bersenjata sekutu Hamas, seperti Jihad Islam, menolak rencana tersebut dan menilainya sebagai resep untuk agresi berkelanjutan.
Secara politik dan hukum, rencana damai yang adil tak mungkin efektif tanpa persetujuan pihak yang menjadi subjek utama konflik. Hamas, yang masih memegang pengaruh di Gaza belum memberi komentar resmi dan menyatakan perlu waktu untuk menelaah proposal tersebut.
Tantangannya jelas: menuntut pembongkaran infrastruktur militer dan penghapusan kekuasaan Hamas sambil meminta pertukaran sandera dalam tempo singkat adalah tuntutan yang sangat berat tanpa jaminan keamanan dan masa depan politik bagi penduduk Gaza.
Rencana semacam itu berisiko memaksa kondisi peralihan yang tidak diterima oleh semua pihak lokal, sehingga berpotensi memicu resistensi baru dan kegagalan implementasi.
Rencana yang mempertahankan pengepungan militer dan membiarkan kontrol Israel atas perbatasan serta akses dapat dipandang sebagai upaya untuk memberi legitimasi internasional terhadap status quo pengepungan yang selama ini dikritik sebagai pelanggaran hak-hak sipil dan kemanusiaan.
Pembentukan pemerintahan sementara di bawah pengawasan aktor eksternal seperti Trump dan Blair juga membuka pertanyaan tentang siapa yang memberikan mandat demokratis bagi rakyat Gaza. Solusi yang tidak memberi ruang bagi kedaulatan Palestina berisiko memperpanjang penderitaan kemanusiaan dan menimbulkan keresahan politik lebih lanjut.
Di satu sisi, Trump mengancam memberi “dukungan penuh” untuk tindakan apa pun terhadap Hamas jika kelompok itu menolak rencana tersebut retorika yang menambah tekanan pada pihak Palestina dan menimbulkan kekhawatiran bahwa penolakan dapat dipakai untuk membenarkan eskalasi militer lebih lanjut.
Pernyataan semacam itu memperberat ketidaksetaraan kekuatan di medan diplomasi, dan mengurangi ruang negosiasi yang aman bagi pihak-pihak Palestina untuk menegosiasikan persyaratan yang menghormati hak-hak mereka.
Solusi Tak Sekadar Teks
Dukungan dari delapan negara mayoritas Muslim dan sejumlah negara lain memberi tampak legitimasi diplomatik awal terhadap rencana Trump. Namun legitimasi formal tak cukup.
Untuk menjadi solusi yang berkelanjutan, rencana damai harus mendapat persetujuan dan kepemilikan politik dari pemimpin-pemimpin Palestina yang mewakili aspirasi rakyat, menjamin akses kemanusiaan serta pengakhiran pengepungan yang menghukum warga sipil, menjamin keamanan jangka panjang tanpa menormalisasi praktik pendudukan, dan menempatkan mekanisme hukum dan akuntabilitas terhadap pelanggaran selama konflik.
Tanpa pemenuhan syarat-syarat itu, apa yang disebut “rencana damai” berisiko menjadi solusi parsial yang menukar pembebasan sandera dengan politik yang mempertahankan ketidakadilan struktural dan pada akhirnya hanyalah jeda rapuh yang dapat meletus lagi menjadi konflik lebih luas. (*)