
Jakarta, Nusantara Info: Sebuah bendera bertengkorak dengan topi Jerami, simbol bajak laut fiksi dari serial Jepang “One Piece”, kini menjadi ikon baru perlawanan generasi muda di berbagai belahan dunia. Dari Nepal hingga Indonesia, Madagaskar hingga Filipina, simbol yang dulu hanya dikenal di dunia manga dan anime kini menjelma menjadi panji perjuangan Gerakan Protes Gen Z.
Fenomena ini mengundang pertanyaan besar: bagaimana bendera bajak laut fiksi bisa menembus dunia nyata dan menjadi lambang perlawanan terhadap kekuasaan?
Dari Dunia Fiksi ke Dunia Nyata
“One Piece” adalah karya monumental dari Eiichiro Oda, seniman manga Jepang yang menciptakan kisah ini pada tahun 1997. Serial ini telah menjual lebih dari 500 juta kopi di seluruh dunia, menjadikannya manga terlaris sepanjang masa, dan sudah melahirkan lebih dari 1.000 episode animasi.
Ceritanya mengikuti Monkey D. Luffy, seorang pemuda yang bermimpi menjadi raja bajak laut. Namun, di balik petualangan dan humor khas anime, “One Piece” membawa pesan perlawanan terhadap otoritarianisme, ketidakadilan, dan korupsi kekuasaan.
Menurut Andrea Horbinski, ahli manga dan penulis Manga’s First Century: How Creators and Fans Made Japanese Comics, 1905–1989, nilai-nilai dalam “One Piece” memiliki daya resonansi kuat dengan generasi muda.
“Luffy dan krunya memperjuangkan kebebasan, pilihan individu, dan nurani. Mereka menentang kekuatan korup, termasuk pemerintah dunia yang otoriter,”
ujar Horbinski kepada DW. “Aspek-aspek inilah yang membuat bendera ini diadopsi oleh mereka yang berjuang di dunia nyata.”
Simbol Viral dalam Protes Global
Puncak sorotan terhadap bendera “One Piece” terjadi pada September 2025 di Nepal, ketika para pengunjuk rasa muda menyerbu dan membakar gedung parlemen sebagai bentuk protes terhadap larangan pemerintah terhadap media sosial.
Di tengah kekacauan itu, bendera tengkorak bertopi jerami terlihat berkibar di antara lautan massa menjadi simbol kebebasan dan perlawanan terhadap represi digital. Aksi tersebut menewaskan lebih dari 70 orang dan melukai 2.100 lainnya, namun juga berhasil memaksa Perdana Menteri KP Sharma Oli mundur serta membatalkan larangan media sosial.
Simbol ini kemudian menular ke berbagai negara. Di Madagaskar, aktivis Gen Z bahkan memodifikasi bendera tersebut: topi jerami khas Luffy diganti dengan topi tradisional Satroka milik suku Betsileo.
“Kami melihat apa yang terjadi di Nepal dan itu menyalakan semangat kami,” kata Virgilus Slam, seniman sekaligus aktivis muda Madagaskar.
“Gerakan ini tumbuh dari bawah, dan bendera Luffy menjadi lambang harapan bagi kami yang muak dengan kekuasaan yang menindas,” tambahnya.
Protes Diam-Diam di Indonesia
Simbol serupa juga muncul di Indonesia. Pada gelombang pertama protes mahasiswa Februari 2025, menjelang peringatan ke-80 tahun kemerdekaan, banyak rumah dan kendaraan dihiasi dua bendera berdampingan, yakni Merah Putih dan Jolly Roger “One Piece”.
Tindakan itu adalah bentuk sindiran diam-diam terhadap korupsi dan kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat.
Namun, alih-alih dianggap ekspresi budaya pop, pemerintah merespons dengan keras. Sejumlah pejabat menyebut pengibaran bendera “One Piece” sebagai tindakan tidak patriotik, bahkan pengkhianatan terhadap negara.
Aparat kemudian melakukan operasi penertiban simbol, termasuk penghapusan mural dan penyitaan bendera di beberapa daerah. Amnesty International mengecam tindakan tersebut, menilai bahwa ekspresi budaya tidak seharusnya dipersekusi.
Budaya Pop sebagai Bahasa Perlawanan
Fenomena penggunaan simbol dari budaya pop dalam gerakan sosial sebenarnya bukan hal baru.
- Topeng Guy Fawkes dari film V for Vendetta menjadi simbol global Occupy Wall Street (2011).
- Salam tiga jari dari The Hunger Games menjadi lambang pemberontakan di Thailand dan Myanmar.
- Winnie the Pooh digunakan aktivis di Cina untuk menyindir Presiden Xi Jinping, hingga akhirnya dilarang pemerintah.
- Riasan Joker menjadi simbol “kaum terpinggirkan” dalam protes 2019 di Hong Kong dan Chile.
Kini, bendera “One Piece” menambah daftar panjang bagaimana ikon-ikon fiksi digunakan sebagai alat komunikasi politik lintas budaya dan lintas batas.
“Generasi Z tumbuh di tengah internet dan budaya meme. Mereka memahami bahwa simbol-simbol visual seperti ini berbicara lebih keras daripada slogan politik,” jelas Horbinski.
Dari Bajak Laut ke Aktivis
Dalam dunia “One Piece”, bajak laut Topi Jerami bukanlah penjahat, melainkan pembangkang idealis yang menolak tunduk pada kekuasaan yang korup dan berjuang menegakkan keadilan dengan cara mereka sendiri.
Di mata Gen Z, Luffy menjadi representasi perlawanan terhadap sistem yang menindas, sosok muda yang berani menantang tatanan dunia meski berisiko tinggi.
Simbol “One Piece” bukan sekadar bentuk fandom, tapi manifestasi aspirasi kebebasan dan keadilan generasi global yang muak dengan stagnasi politik dan ketimpangan sosial.
Jolly Roger: Dari Laut Fiksi ke Samudra Nyata
Kini, Jolly Roger, bendera tengkorak bertopi jerami telah menjelma menjadi bendera ideologis tanpa negara, dikibarkan oleh mereka yang menolak diam di tengah krisis politik dan moral.
Ia menjadi pengingat bahwa budaya pop bukan sekadar hiburan, melainkan alat naratif yang mampu menggerakkan imajinasi dan solidaritas lintas generasi.
Seperti kata Virgilus Slam, “Luffy muda ini mungkin fiksi, tapi semangatnya nyata. Ia mewakili kita semua yang berani menentang ketidakadilan.” (*)