
Kabul, Nusantara Info: Pemerintah Taliban di Afganistan kembali memperketat kontrol atas aktivitas digital warganya. Setelah sempat memutus total layanan internet selama dua hari pada akhir September, kini akses ke sejumlah platform media sosial utama seperti Facebook, Instagram, dan Snapchat mulai dibatasi di berbagai wilayah.
Laporan dari NetBlocks, lembaga pemantau internet global, menyebutkan bahwa pembatasan ini terjadi pada beberapa penyedia layanan internet di Afganistan sejak awal pekan.
“Data kami menunjukkan bahwa platform seperti Instagram, Facebook, dan Snapchat kini dibatasi di beberapa penyedia layanan internet di Afganistan,” tulis NetBlocks di platform X (sebelumnya Twitter) pada Rabu (8/10/2025).
Pengguna Keluhkan Akses Terhambat, VPN Jadi Satu-satunya Jalan
Media lokal Ariana News melaporkan bahwa pengguna internet di Afganistan mulai mengalami gangguan sejak Senin malam. Sebagian pengguna mengaku koneksi mereka melambat drastis, sementara sebagian lainnya kehilangan akses internet sepenuhnya.
Seorang warga di Kabul dan seorang lainnya di Mazar-i-Sharif mengonfirmasi kepada kantor berita dpa bahwa mereka tidak dapat membuka Facebook maupun Instagram tanpa menggunakan Virtual Private Network (VPN). Menurutnya, VPN menjadi satu-satunya cara bagi pengguna untuk melewati pembatasan yang diterapkan Taliban.
Meskipun begitu, beberapa aplikasi seperti WhatsApp dan X (Twitter) dilaporkan masih bisa diakses. Namun, jurnalis AFP di sejumlah provinsi Afganistan melaporkan adanya penurunan kecepatan internet yang signifikan, terutama di jaringan seluler.
Taliban Belum Beri Penjelasan Resmi
Hingga berita ini diterbitkan, pemerintahan Taliban belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait alasan pembatasan tersebut. Namun, langkah ini bukan hal baru bagi rezim yang kini berkuasa di Kabul.
Sejak kembali memimpin Afganistan pada Agustus 2021, Taliban telah menerapkan serangkaian kebijakan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, termasuk di ruang digital.
Pada tahun 2022, kelompok itu melarang penggunaan TikTok, dengan alasan aplikasi tersebut “tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam”.
Menurut data GSMA, asosiasi global operator seluler, sekitar 51% dari 44 juta penduduk Afganistan memiliki akses ke ponsel. Artinya, lebih dari separuh populasi berpotensi terdampak oleh kebijakan pembatasan ini.
Sebelumnya Taliban Sempat Putus Total Internet Nasional
Langkah terbaru ini terjadi hanya beberapa hari setelah Taliban sempat memutus total layanan internet dan telekomunikasi selama hampir 48 jam antara 29 September hingga 1 Oktober lalu. Pemutusan itu membuat Afganistan nyaris terisolasi sepenuhnya dari dunia luar.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) mengecam keras tindakan tersebut. Mereka menilai pemutusan dan pembatasan akses internet akan semakin memperburuk situasi kebebasan informasi dan komunikasi di negara itu.
“Langkah Taliban menutup akses internet memiliki dampak serius terhadap masyarakat, terutama bagi perempuan dan anak perempuan yang semakin terpinggirkan di bawah rezim mereka,” kata salah satu aktivis HAM kepada AFP.
Sebagai Alat Kontrol Sosial
Pengamat menilai bahwa pembatasan internet dan media sosial oleh Taliban merupakan bagian dari strategi untuk memperketat pengawasan terhadap arus informasi di dalam negeri. Media sosial selama ini menjadi ruang penting bagi warga Afganistan, terutama generasi muda untuk mengekspresikan diri dan mengakses berita dari luar negeri.
Sejak berkuasa, Taliban berulang kali menggunakan kebijakan sensor digital untuk membatasi kritik publik, mengendalikan opini, dan mengisolasi warganya dari pengaruh eksternal.
Kondisi ini juga menyulitkan media independen dan organisasi internasional yang bergantung pada komunikasi daring untuk melaporkan kondisi lapangan di Afganistan.
Dengan semakin seringnya pembatasan akses internet, Afganistan kini menghadapi risiko menjadi negara dengan sensor digital paling ketat di dunia. Pembatasan terhadap media sosial tidak hanya memutus saluran komunikasi antarwarga, tetapi juga menghalangi peluang ekonomi digital dan pendidikan daring bagi jutaan orang.
Langkah ini sekaligus menegaskan arah pemerintahan Taliban yang semakin menjauh dari nilai-nilai kebebasan informasi dan keterbukaan digital yang dijunjung masyarakat internasional. (*)