Gunakan Ponsel Seperlunya Agar Tidak Terjerat Nomophobia

Bagikan

Gunakan Ponsel Seperlunya Agar Tidak Terjerat Nomophobia
Ilustrasi Nomophobia, Foto: Istimewa

Jakarta, Nusantara Info: Menggenggam telepon seluler (ponsel) sudah bagian dari kehidupan sehari-hari banyak orang di era media sosial (medsos) ini.

Di angkutan umum penumpang memegang ponsel di tangan kiri atau kanan, tangan yang lain menentang tas sehingga jika perlu pegagangan mereka kesulitan karena kedua tangan memegang benda.

Tidak sedikit yang kebingungan kalau ponselnya tertinggal di rumah atau di kantor. Ini terjadi karena mereka terputus dengan pertemanan di medsos.

Selain menyapa teman yang sebenarnya berada di dunia maya, mereka juga menanggapi unggahan di WhatsApp, Twitter, Instagram atau Tik Tok melalui komentar atau mencontreng tanda like.

Kegiatan bermedsos ria juga dipengaruhi oleh tipe atau jenis ponsel. Ya, masing-masing punya kekurangan dan kelebihan, kata Ade, sales di gerai Erafone Pisangan Lama III, Jakarta Timur. Bagi yang ingin memilih kualitas foto, menurut Ade, pilihannya adalah iPhone yang sekarang sudah seri 16.

Tapi, harga Ponsel ini berkisar di Rp 20-an juta. Selain kualitas foto, masih menurut Ade, ponsel ini antivirus sehingga aman.

Apapun merek dan tipe Ponsel yang perlu diingat adalah pertemanan di Medsos hanya ada di dunia maya. Bisa saja seseorang punya teman ribuan bahkan jutaan di dunia maya, tapi di angkutan umum, misalnya, untuk berbicara dengan orang di sebelahnya kesulitan karena sudah terbiasa berteman di dunia maya.

Sebuah laporan yang ditulis Peter Schuchardt di Deutsche Welle (13/10/2023) menyebutkan: Para peneliti otak membuktikan bahwa menconteng atau memberi tanda “like” dan menulis komentar di Facebook, Twitter, Instagram atau Tik Tok menstimulasi pusat kebahagiaan di otak. Kondisi yang direspon otak mirip seperti habis makan makanan enak, melakukan hubungan seksual atau memakai narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).

Maka, tidak mengherankan kalau kemudian banyak yang terjerat dan terperangkap dikungkung Medsos yang berdampak buruk terhadap kehidupan pribadi, sosial, ekonomi dan kesehatan.

Konsultan masalah kecanduan, Lydia Rmer, yang dikutip DW, mengenal banyak remaja yang super aktif di media sosial, yang berdampak membahayakan kesehatan mereka.

Maka, tidak mengherankan kalau kemudian ada pusat rehabitasi kecanduan internet, seperti di Thailand dan China, bahkan kini sudah ada di Pulau Bali. Ini ironis, karena selama ini yang dikenal adalah pusat rehabilitasi kecanduan narkoba.

Tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan terjadi di Indonesia karena dalam State of Mobile 2024 yang dirilis oleh data AI, ternyata warga Indonesia menjadi pengguna Internet yang paling lama menghabiskan waktu dengan perangkat mobile seperti Ponsel dan Tablet pada 2023, yaitu 6 jam 5 menit setiap hari.

Baca Juga :  Pelajar Kota Tangerang Tak Lagi ada Beban untuk Biaya Transportasi Sekolah

Tapi, ironis karena tingkat literasi pelajar di Indonesia justru nomor lima dari bawah pada 79 negara yang disurvei oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) atau Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi yang mengukur kemampuan anak berumur 15 tahun di bidang membaca, matematika dan pengatahuan ilmiah menempatkan Indonesia di urutan ke-74 dari 79 negara yang ikut dalam penilaian yang dilakukan OECD pada 20 Februari 2024 lalu.

Agaknya, bermedsos ria di negeri ini bukan untuk meningkatkan literasi, tapi untuk memuaskan otak dengan kegembiraan semu yang pada akhirnya bermuara pada kecanduan medsos.

Tak pelak lagi muncullah ketergantungan terhadap Medsos yang akhirnya merupakan candu baru bagi penggemar internet. Tentu saja ketergantungan sangat sulit dihentikan tanpa bantuan ahli melalui rehabilitasi medis dan psikologis.

Dalam pemaparannya Lydia Rmer, seperti ditulis DW, mengungkap, banyak orang yang punya pikiran, ia harus memposting semua hal, dan harus selalu up to date. Selain itu, ia juga merasa harus mendapat informasi tentang semua hal. Namun, karena “langganan” banyak kanal media sosial, sebagai dampaknya, mungkin menelantarkan lingkungan sosial nyata, dan yang lebih parah lagi, sudah berada dalam situasi stres permanen.

Sebelumnya, kalangan ahli sudah memperkenalkan Fear Od Missing Out (FOMO) yaitu takut ketinggalan infomasi. Celakanya, informasi di medsos dikuasai haoks yaitu informasi atau kabar palsu yang sifatanya disinformasi.

Ingat, tidak ada bertita palsu atau berita bohong karena berita yang dikemas dengan pijakan asas jurnalistik tidak akan menerbitkan berita yang tidak benar.

Celakanya, banyak yang justru mencari-cari hoaks, seperti kalangan haters sehingga mereka tidak akan membaca berita jurnalistik di media mainstream (media massa arus utama yang menyiarkan berita dengan pijakan asas jusnalistik), tapi memilih medsos sebagai sumber informasi.

Ketergantungan terhadap medsos terus memakan korban sehingga muncullah istilah NoMoPhobia, yaitu No Mobile Phone Phobia. Instilah ini menunjukkan suatu kondisi psikologis ketika orang memiliki rasa takut terlepas dari konektivitas telepon seluler.

Kecanduan terhadap internet, khusunya medsos, bisa jadi pandemi (KBBI: wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas) yang merusak masa depan generasi muda.

Sudah saatnya pemerintah memperhatikan kecanduan terhadap Internet, khusnya medsos, agar ‘Generasi Emas’ yang dibangga-banggakan pemerintah akan terjadi di tahun 2045 justru jadi generasi lemas atau generasi yang mencemaskan karena nirliterasi. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait