Hobi Klasik yang Nyaris Hilang: Mengapa Filateli Tidak Lagi Populer di Indonesia?

Bagikan

Hobi Klasik yang Nyaris Hilang: Mengapa Filateli Tidak Lagi Populer di Indonesia?
Selembar prangko bisa menyimpan sejarah dan cerita: hobi filateli yang pernah digemari Freddie Mercury hingga Ratu Elizabeth II kini hampir punah di Indonesia. (Foto: Pixabay)

Jakarta, Nusantara Info: Mungkin tak banyak yang tahu bahwa Freddie Mercury, vokalis legendaris grup rock Queen, memiliki sisi lain yang jauh dari panggung megah dan gemerlap sorotan. Musisi bernama lahir Farrokh Bulsara itu ternyata adalah seorang filatelis, yaitu pengumpul perangko sejak masa kecilnya di Zanzibar, pulau kecil di lepas pantai timur Afrika, sebelum keluarganya pindah ke Inggris. Freddie menekuni hobi itu mengikuti jejak ayahnya, Bomi Bulsara.

Album perangko Freddie sebagian besar berisi koleksi dari negara-negara Persemakmuran serta sejumlah negara lain. Setelah sang vokalis meninggal pada 24 November 1991, ayahnya menjual koleksi tersebut kepada Royal Mail. Menariknya, seluruh hasil penjualan disumbangkan ke badan amal yang menangani AIDS, sebuah warisan kecil namun sarat makna dari sang ikon.

Freddie bukan satu-satunya nama besar yang memiliki kegemaran klasik ini. Mendiang Ratu Elizabeth II, yang wafat pada 8 September 2022, juga dikenal sebagai filatelis sepanjang hidupnya. Ia mewarisi koleksi filateli kerajaan dari ayahnya, Raja George VI. Koleksi prangko Kerajaan Inggris disebut-sebut bernilai hingga 100 juta pound sterling atau sekitar Rp2,2 triliun, salah satu koleksi termahal di dunia.

Dari Asia, mendiang Raja Thailand Bhumibol Adulyadej adalah filatelis yang dihormati. Putrinya bahkan dijuluki “Putri Pengumpul Perangko”. Daftar figur terkenal lain yang juga menjadikan prangko sebagai jendela pengetahuan sangat panjang: Raja Farouk I dari Mesir, Presiden Amerika ke-32 Franklin D. Roosevelt, Pangeran Rainier III dari Monako, Charlie Chaplin, John Lennon, novelis Ayn Rand, hingga investor global Warren Buffett.

Namun, ketika filateli berkembang pesat di berbagai negara, hobi ini justru hampir mencapai titik nadir di Indonesia. Rendahnya minat berkirim surat dan merosotnya literasi surat-menyurat membuat penggunaan prangko hampir nol. Di era digital, pesan personal telah digantikan oleh e-mail, WhatsApp, dan media sosial, praktis mematikan fungsi tradisional prangko dan kartu pos.

Pada masa sebelum internet, ucapan Lebaran, Natal, dan Tahun Baru selalu dikirim melalui surat, kartu pos, atau bahkan Telengram Indah. Suara lonceng sepeda “Pak Pos” yang mengantar kabar dari jauh menjadi bagian hangat dalam perjalanan peradaban masyarakat Indonesia. Kini, itu tinggal nostalgia.

Baca Juga :  Ini Instruksi Presiden Terkait Penanganan Pengungsi Erupsi Gunung Ruang

Meski demikian, di berbagai negara lain budaya berkirim surat tetap bertahan sebagai bagian dari literasi. Surat dan kartu pos digunakan untuk menyampaikan pesan pribadi, ucapan ulang tahun, hingga cerita tentang kehidupan di perantauan. Ada sentuhan emosional yang tidak tergantikan ketika jemari menulis di atas kertas, sesuatu yang tak dapat disamai oleh pesan instan di WhatsApp, SMS, Instagram, atau TikTok.

Salah satu penyebab lesunya filateli di Indonesia adalah semakin sulitnya menemukan benda-benda pos seperti prangko, kartu pos, maupun warkat pos. “Beli di loket kantor pos, Pak,” ujar seorang karyawan minimarket di dalam kantor pos Jakarta ketika ditanya soal prangko, padahal saat itu loket sudah tutup.

Di sejumlah negara, kartu pos dan warkat pos tersedia luas, bahkan sudah dilengkapi prangko tempel sehingga pengguna hanya perlu menulis alamat dan pesan sebelum memasukkannya ke bis surat yang tersebar di banyak titik. Akses mudah seperti inilah yang membuat budaya surat tetap hidup.

Jika ingin meningkatkan literasi, sudah saatnya Pos Indonesia kembali menggalakkan kebiasaan berkirim surat. Kemudahan memperoleh kartu pos, warkat pos, dan prangko harus menjadi prioritas. Termasuk menyediakan benda pos berprangko siap kirim agar publik tidak perlu lagi berburu prangko yang semakin langka.

Selain itu, keberadaan cap pos dengan identitas jelas setiap kantor pos atau bis surat juga penting untuk mendukung para filatelis. Cap pos adalah jejak otentik yang memberi nilai historis pada setiap kiriman dokumen kecil yang merekam tempat dan waktu sebuah pesan lahir.

Mungkin dunia telah berubah. Namun sebagian tradisi layak dirawat, bukan sekadar dikenang. (*)

Bagikan pendapatmu tentang artikel di atas!

Bagikan

Pos terkait