
Kuala Lumpur, Nusantara Info: Pemerintah Malaysia mencatat lonjakan besar dalam jumlah buku yang dilarang beredar sepanjang tahun 2025. Hingga Oktober, sebanyak 24 judul buku telah resmi dilarang oleh Kementerian Dalam Negeri (KDN), jumlah yang melampaui total larangan selama enam tahun terakhir digabungkan, dan menjadi yang tertinggi sejak 2017.
Buku-buku yang dilarang mencakup berbagai genre, mulai dari novel thriller, kisah romantis, hingga buku panduan remaja. Sejumlah judul bahkan termasuk karya sastra populer internasional seperti Call Me by Your Name, yang pernah diadaptasi menjadi film pemenang Oscar pada 2017.
Sebagian besar larangan tersebut menyoroti tema LGBTQ+, seksualitas, dan kritik sosial, yang oleh KDN disebut “berpotensi membahayakan keamanan nasional dan ketertiban umum.”
Kritik dari Penerbit dan Aktivis Kebebasan Berekspresi
Langkah pemerintah ini mendapat kecaman dari berbagai pihak, termasuk PEN Malaysia, cabang lokal organisasi advokasi kebebasan berekspresi internasional.
Presiden PEN Malaysia, Mahi Ramakrishnan, menyebut kebijakan ini sebagai “pengekangan yang mengkhawatirkan” terhadap ruang demokrasi dan kebebasan berpikir di negeri jiran.
“Kita semakin mundur. Buku-buku ditarik dari rak, dan jika kita memprotes, risikonya bisa lebih besar lagi,” ujar Mahi.
Larangan ini dinilai sebagai tanda bahwa Malaysia sedang bergerak menuju konservatisme agama dan kontrol sosial yang lebih ketat, terutama terhadap karya yang menyinggung isu ras, agama, dan seksualitas.
Pemerintahan Anwar Ibrahim dan Bayang-Bayang Konservatisme
Fenomena ini terjadi di tahun ketiga masa pemerintahan Perdana Menteri Anwar Ibrahim, yang sebelumnya menjanjikan reformasi politik dan kebebasan berekspresi lewat visi “Malaysia Madani.”
Namun, sejumlah pengamat menilai realitasnya berbanding terbalik. Analis politik dari Universitas Sunway, Wong Chin-Huat, mengatakan lonjakan pelarangan buku ini merefleksikan konservatisme yang telah mengakar dalam birokrasi negara.
“Alih-alih melawan ide yang dianggap menyimpang secara intelektual, pemerintah memilih menekannya lewat jalur hukum,” katanya.
Sementara itu, Ahmad Farouk Musa, Direktur Islamic Renaissance Front, menyebut kebijakan pelarangan ini sebagai kebalikan dari semangat Madani yang seharusnya inklusif dan terbuka terhadap perbedaan pandangan.
“Mereka menyebut diri Madani, tapi kenyataannya justru menutup ruang dialog,” kata Farouk. Ia menilai langkah ini adalah strategi politik untuk menarik simpati pemilih muslim menjelang pemilu.
Islam dan Politik dalam Lanskap Malaysia
Meski koalisi Anwar Ibrahim memenangkan Pemilu 2022, partai Islam konservatif PAS justru mencatat lonjakan dukungan signifikan, memenangkan kursi parlemen terbanyak di antara partai lainnya.
Kemenangan besar PAS di pemilu regional 2023 memperkuat tekanan terhadap koalisi pemerintah untuk tampil lebih “islami” demi mempertahankan basis pemilih mayoritas muslim.
Penerbit independen Amir Muhammad mengungkapkan, toko bukunya telah empat kali didatangi petugas KDN untuk melakukan razia.
“Mereka datang tiba-tiba dan membawa beberapa buku tanpa menjelaskan alasannya. Ini sudah menjadi risiko dalam menjalankan bisnis penerbitan di Malaysia,” ujarnya.
Peningkatan Sensor Buku di Dunia
Fenomena pembatasan buku tak hanya terjadi di Malaysia. Laporan PEN International pada Hari Buku Sedunia 2025 mencatat “peningkatan dramatis” dalam larangan buku di seluruh dunia.
Namun, Malaysia menjadi sorotan karena fokusnya yang spesifik pada tema LGBTQ+ dan isu-isu gender.
Ramakrishnan menambahkan bahwa dampak jangka panjang dari kebijakan ini adalah menyempitnya ruang berpikir dan meningkatnya praktik sensor diri di kalangan penulis dan penerbit.
“Ketika ruang ide semakin sempit, demokrasi pun ikut terancam,” pungkasnya. (*)