Sanggau (9/2/2021): Sanggau adalah nama sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang terletak tidak begitu jauh dari Kota Pontianak. Sebelum berubah menjadi kabupaten, di wilayah Sanggau berdiri suatu kerajaan Melayu yang sudah ada sejak abad ke-4 Masehi.
Di Sanggau inilah Johannes Kitono alias Jeka menghabiskan masa remajanya, selain di asrama Santa Maria Singkawang (9 th) dan Pontianak (3 th). Setiap ada liburan sekolah selalu ikut omnya berdagang ke daerah perbatasan seperti Desa Jangkang, Bonti dan Balai Karangan. Saat usia 16 tahun ia sudah memiliki kecakapan membawa kapal di Sungai Kapuas yang panjangnya 1.145 km.
Jeka yang mantan Ketua PPAS , Paguyuban Perantau Asal Sanggau, mempunyai catatan menarik tentang Kelenteng Thai Pak Kung dan perempuan bernama Moi Jie Pho. Catatan ringan Jeka, sang cucu Moi Jie Pho, tertuang dalam tulisan berikut ini:
Di kota Sanggau ada seorang nenek cantik yang sering disapa dengan Moi Jie Pho. Biar sudah pernah melahirkan 11 orang anak ( 3 laki laki + 8 perempuan ), dari wajahnya yang selalu tersenyum masih terlihat sisa-sisa kecantikannya di masa muda.
Nenek lincah ini adalah puteri kesayangan hartawan Bong Boe Tju ( BBT ) turunan etnis Tiew Chew yang paling kaya di kota Sanggau. Ibu kandung Moi Jie Pho adalah janda beranak tiga dari Sarawak, Malaya, yang lintas batas mengungsi ke Sanggau karena ada kerusuhan di sana. Saat tiba di kota Sanggau terpaksa menginap di Kelenteng Thai Pak Kung, karena tidak ada sanak saudara di sana.
Kelenteng Thai Pak Kung (TPK) , Toa Pe Kong (bahasa Tee Chew atau Hokkian) atau Grand Uncle bahasa Google, yang sudah berusia 135 tahun, masih berdiri dengan megah dan berwibawa di pinggir Sungai Kapuas dengan dominasi cat warna merah.
Letaknya seputaran Pasar Sanggau. Secara umum pasar ini terdiri dari tiga bagian, yaitu Song Ke atau Pasar Hulu, Cung Ke atau Pasar Tengah dan Ha Ke atau Pasar Hilir. Setiap bagian dari kota mempunyai karakter penghuni yang berbeda pula. Adapun klenteng TPK berdiri di Ha ke atau Pasar Hilir yang terusannya merupakan kampung Beringin yang dihuni oleh mayoritas Melayu.
Nama Thai Pak Kung jelas dari logat bahasa Hakka atau Keh yang merupakan mayoritas di Pasar Sanggau ini dibandingkan dengan etnis Tee Chew, Hu Pek atau Hainan yang merupakan minoritas . Tetapi sejarah membuktikan bahwa yang pernah menjadi Kapitan atau pemimpin orang Tiong Hoa di kota Sanggau justru Kapitan Panjang yang merupakan turunan Tiew Chew. Zaman dulu orang kaya di Sanggau adalah Bong Bu Cu dan Phang Kim Sun, keduanyaTee Chiew.
Kabar bahwa di kelenteng ada janda cantik menyebar ke para lelaki. Sehari-hari janda muda beranak tiga itu tentu harus kerja keras menghidupi keluarganya. Setiap hari pikul air, cuci baju dan memasak untuk sekedar mendapatkan upah dari majikannya. Semua pekerjaan itu dilakukannya tanpa mengeluh, demi anak- anaknya. Keuletan dan kerajinan janda muda itu terdengar dan menarik perhatian Bong Bu Tju alias BBT yang kebetulan masih jomblo. Setelah konsultasi sama orang pintar dan melakukan ciam si, BBT langsung mendatangi janda Sarawak itu di Kelenteng Thai Pak Kung. Ketika tiba di sana sang janda pas selesai mandi dan sedang berbedak di pipinya. B B T langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Singkat cerita dalam hitungan minggu keduanya langsung menikah dan bikin pesta sederhana di pelataran Kelenteng Thai Pak Kung. Seperti cerita Cinderella, janda muda beserta tiga anaknya tentu tidak perlu tinggal di kelenteng lagi.
Bisnis BBT tambah maju ketika isterinya melahirkan seorang puteri cantik yang dinamai Bong Nyet Kiaw nama kecil dari Moi Jie Pho. Berkat kekayaan dan dukungan BBT, kakak tiri Moi Jie Pho diangkat penguasa Belanda menjadi Kapitan dengan panggilan Kapitan Panjang.
Pada hari pertama Sin Cia (Imlek) memang banyak orang sembahyang di Kelenteng, tetapi orang pertama yang menancapkan Hio di sana adalah Moi Jie Pho dan anak cucunya. Ini jadi suatu kebanggaan sekaligus cara Moi Jie Po mengucapkan terima kasih dan syukur kepada para dewa di Kelenteng Thai Pak Kung yang telah menjodohkan kedua orang tua dan memberikan berkah bagi keluarganya.
Now, Moi Jie Pho sudah wafat. Kelenteng Sanggau masih kukuh berdiri dan tidak ada lagi anak cucu yang meneruskan tradisi ini. Mereka sudah banyak konversi ke agama Katholik/Kristen dan selalu mendoakan A Pho – Akung via intensi Misa di Gereja.
Sin Cia dan Toleransi
Namun kekukuhan kelenteng itu sekaligus menggambarkan kekuatan toleransi. Misalkan, pada tahun 1967 di Kalimantan Barat terjadi Peristiwa Mangkok Merah, di mana etnis Tionghoa di daerah kecamatan dipaksa mengungsi ke ibu kota Kabupaten. Dengan alasan bahwa etnis Tionghoa di pedalaman telah men-supply logistik kepada pemberontak PGRS sehingga gerakan yang beraliran komunis ini sulit dibasmi. Ibukota kabupaten seperti Singkawang, Pontianak dan Sanggau langsung dipenuhi pengungsi atau Nan Mien istilah lokalnya. Di kota Sanggau, Pemda tidak menyediakan bedeng untuk menampung para pengungsi. Para pemuka etnis Tionghoa di sana dengan inisiatif sendiri meminta masyarakat Tionghoa Sanggau menampung saudara-saudara Tionghoanya dari pedalaman.
Dalam suasana prihatin ini mereka semua sepakat, ikut toleransi dan tidak akan merayakan Pesta Sin Cia seperti tahun tahun sebelumnya. Anak-anak tidak mendapat angpao dan baju baru dari ortunya. Sejarah mencatat, ini adalah perayaan Sin Cia paling indah yang pernah dilakukan etnis Tionghoa Sanggau terhadap sesamanya.
Toleransi ini juga terlihat adanya Gereja Katedral Hati Kudus Yesus. Inilah gereja ke-875 yang dibangun oleh Mosinyur (Mgr) Julius Mencuccini, Uskup Sanggau asal Italia yang waktu mudanya berprofesi sebagai pebalap motor Yamaha. Salah satu cara mencari dana untuk membangun gereja yang begitu banyak yang pernah dilakukan. Perusahaan Yamaha di Imenyiapkan Motor baru Yamaha 600 cc, kemudian Mgr Julius dengan baju kebesaran uskup lengkap dengab topinya naik motor keliling kota. Sesudah itu motor dilelang dan hasilnya antara lain untuk membangun gereja. Sampai dengan akhir tahun 2020 sudah 935 gereja yang dibangun oleh Mgr mantan pebalap ini.Tahun depan Mgr akan pensiun pada usia 75 tahun.
Tapi sekarang Sin Cia dirayakan. Namun semangat toleransi tak pernah redup. Dari Sanggau berhembus makna Sin Cia sesungguhnya. (**/jeka)